Ngangenin wae

Saya ke Jogja lagi minggu lalu. Walaupun cuman dua hari setelah dinas di wilayah timur Jawa. Kangen saja. Suasananya apalagi.

Waktu itu malam minggu. Malam yang panjang katanya. Pulang jam 10.30 malam setelah ngalor-ngidul bernostalgia dengan teman-teman kuliah dan makan pecel lele, saya pun balik ke hotel di Jalan Dagen. Tapi mata belum ngantuk. Ya sudah, saya ke warnet saja. Ada warnet di Jalan Dagen tapi waktu saya kesana kata operatornya sudah mau tutup. Saya sempat ngintip monitor komputer di mejanya, ada tulisan “Pendahuluan”. Oh, mungkin operatornya lagi nyusun skripsi.
Kata mas itu, ada warnet 24 jam di Jalan Pasar Kembang. Hihihhihi…dengar nama Jalan Pasar Kembang saya jadi geli. Kalo di Solo, Jalan Pasar Kembang itu memang bener-bener jualan aneka kembang untuk di pemakaman. Tapi kalo di Jogja, Jalan Pasar Kembang jualannya “kembang” lain. Ah, bodo amat. Saya mau ke warnet kok.
Naik becak saya udah nyampe di warnet Jalan Pasar Kembang (Sarkem) itu. Sebuah ruangan terbuka yang setiap usernya bisa saling memandang tanpa sekat. Tercium aroma asap rokok di dalam ruangan itu. Ternyata ini warnet bebas merokok. Fyyuuuhhh…kadang-kadang saya harus menutup dan mengibas-ngibas hidung saya dengan tangan. Apa hendak dikata, apa hak saya untuk mengklaim? Biarlah saya mengikuti aturan main di warnet ini saja.
Tawa cekikikan wanita genit di ujung ruangan itu terdengar. Baju dengan potongan terbuka, body semok, dan kulit coklat gelap mengkilap incaran para ekspatriat. Entah apa yang ditertawakan. Tapi syukurlah, dia tau main internet.
12.30 malam. Mata sudah ngantuk. Saatnya harus kembali ke hotel karena esok jam 8 pagi saya sudah harus ke bandara. Keluar dari warnet, di Jalan Sarkem masih ramai. Sambil melihat-lihat becak yang nganggur, dua orang pria iseng mencoba menggoda…”Mbak’e mo kemana…,”Mbak’e sendirian yah…”. Dyuuuhhh, jauh banget dari Christian Sugiono.
Yogyakarta Berhati Nyaman. Memang. Nyaman untuk pria-pria yang merayu wanita dengan seenaknya. Juga nyaman untuk siapa saja yang menikmati petualangan di Jogja tercinta. Melewati ruang parkir umum di Jalan Malioboro, sebuah layar besar segede bagong sedang menayangkan pertandingan bola menjadi tontonan orang-orang. Segerombol anak-anak muda bukan asli Jogja sedang berfoto di plang dan lampu-lampu Jalan Malioboro. Tenda-tenda lesehan memanjakan penikmat kuliner dengan pecel lele dan tempe penyet. Terdengar Free your mind-nya Maliq & D’Essential dari sebuah mobil yang melintas, ini suguhan suasana yang selalu bikin saya kangen.

Putih = cantik ?


“Try, you have bright skin”, itu kata english teacher saya. Cuma dibilang berkulit terang, gak dibilang putih? Gak apa-apa tuh. Lebih baik kulit saya dikatakan bright daripada white. Artinya, tone kulit saya berada di tengah-tengah. Dan saya gak perlu bersusah payah memutihkan kulit lagi.
Kulit kita termasuk kulit Asia yang memiliki struktur pigmen dengan sifat yang khas, yaitu warna coklat. Sementara pandangan estetika orang Asia adalah PUTIH ITU CANTIK, maka berbeda dengan pandangan orang Eropa dimana COKLAT ITU CANTIK. Karena pandangan estetika itulah sebagian besar orang Asia berusaha memutihkan kulit dengan salah satu cara yaitu penggunaan kosmetik. Tapi sebaliknya kalau gak berhati-hati dalam memilih kosmetik, justru pencoklatan kulit yang akan terjadi. Mengapa? Karena banyak kosmetik yang beredar sebenarnya tidak mepertimbangkan faktor lingkungan kita yaitu iklim Indonesia yang panas dan lembab, pigmen kulit yang akan diproduksi lebih banyak bila terpapar matahari, dan reaksi bahan-bahan kimia kosmetik terhadap kulit kita.
Banyak teman wanita saya yang ingin punya kulit putih dan halus. Bersusah-payah (dan membuang-buang uang?) membeli banyak produk kosmetik dengan label “whitening”, mulai dari body lotion, lulur sabun pemutih, bedak wajah yang mengandung pemutih (atau tampak putih), shower cream with whitener and moisture, sampai harus berobat ke dokter untuk mendapat day cream dan night cream.
Benarkah aneka pemutih kulit saat ini efisien dan aman bagi kulit? Sebaiknya jangan mudah tergoda deh dengan iming-iming “…menjadikan kulit anda tampak cantik dan putih berseri…”. Perhatikan benar kandungan bahan-bahan dalam kosmetik. Yang namanya kosmetik tuh pasti mengandung zat-zat kimia. Menurut UU Kesehatan, zat-zat kimia dalam kosmetik hanya berfungsi untuk merawat dan memperindah penampilan, bukan untuk terapi seperti obat. Selain itu, kosmetik juga tidak boleh mempengaruhi fungsi fisiologis tubuh dan hanya boleh bekerja di lapisan epidermis kulit.
Kosmetik yang mengandung bahan kimia seperti hidroquinon yang bekerja mengelupas kulit bagian luar dan menghambat pembentukan pigmen kulit melanin, hanya diperbolehkan sebanyak 2%. Kalau lebih dari ketentuan ini, produk dapat menimbulkan iritasi kulit dan merusak melanin. Padahal melanin berfungsi melindungi kulit dari reaksi sinar matahari. Bahan kimia lain yang dibatasi kandungannya adalah AHA (Alpha Hydroxide Acid). Pernah baca kan? Kandungan bahan ini tidak boleh lebih dari 10%. Sementara bahan-bahan seperti Asam Retinoat, Rhodamin dan Merkuri (Hg) sama sekali tidak boleh terdapat dalam produk kosmetik.
Jangan mudah percaya pada iklan produk kosmetik yang berlebihan dan berefek instan. Misalnya iklan sabun pembersih muka yang menjanjikan bisa memutihkan wajah dalam waktu tiga minggu. Jelas gak bisa dipercaya, karena ketahanan sabun atau pembersih muka paling lama hanya dua menit. Padahal supaya efektif, produk harus dipakai semalaman.
Salah satu situs kesehatan mencatat kisah seorang wanita bernama Niar (22 tahun). Demi mendapat kulit putih idaman, dia rela mengeluarkan uang hingga ratusan ribu rupiah untuk membeli paket kosmetik pemutih wajah. Dua hari pertama pemakaian berlangsung aman. Tapi menginjak hari ketiga, kulit wajahnya terkelupas dan warnanya memerah. Niar sempat mengira itu hanyalah reaksi awal kosmetik. Tapi lewat dua bulan, merah diwajahnya gak hilang. Malah, seluruh wajahnya membengkak! Setelah mendapat perawatan intensif dari dokter, dan (lagi-lagi) makan biaya besar, kulit wajahnya pun kembali normal.
Sebenarnya melakukan apapun pada tubuh kita gak ada salahnya kok, kalau itu bermaksud merawat dan memelihara. Bukankah itu lebih baik? Kita telah diciptakan sebagai manusia yang sebaik-baiknya makluk. Jadi patut dong merawat dan memelihara tubuh kita. Ini satu-satunya yang kita punya kan?
Akhirnya, sebelum mati-matian memutihkan kulit, sebaiknya harus berpikir jauh, apakah kita memang benar-benar harus berkulit putih? Sesungguhnya, pemakaian kosmetik perawatan yang hanya berefek menyegarkan, melembabkan dan menghaluskan kulit saja sudah cukup kok. Karena pemutihan kulit berarti “memaksa” terjadinya perubahan struktur melanin pada kulit yang menyebabkan kulit lebih rentan terhadap serangan matahari dan berpotensi terkena kanker kulit.
Uugh! Saya gak mau seperti itu. Cukup dengan bedak Marcks keluaran Kimia Farma dengan harga Rp6000,00 yang sudah saya pakai sejak SMA. Hasilnya, kulit saya bersih, gak jerawatan, dan gak pernah bermasalah dengan kulit (doooohhh….). Kalau mau cantik gak harus mahal, kan? ; D.

Hampa

Kelak, waktu kau menjadi tua,
Kau akan tau rasanya hampa,
Yaitu keadaan di mana tak ada bahasa untuk dimengerti,
Sesuatu yang tidak membuatmu bahagia,
Juga tidak membuatmu sedih,
Ia tidak membuatmu apa-apa…

Hhmmmm...

Saya doyan sekali sama makanan satu ini. Keluarga sama temen-temen kost dulu juga udah tau. Pernah waktu makan bareng temen-temen kost, saya pesan cap cay pake pete. Huehehehehe…semua temen protes dan mencaci maki.
“Ih, masak cap cay pake pete sih!, enak apa?!…Try mah aneh ah!”
“Iya, mbak Try nih, lucu… Emang bisa cap cay pake pete? Hihihihihi…”
“Weeeh biarin! Kalo gak bisa ya dibisain dong! Toh cap cay dan pete sama-sama dari Cina…huehehehe…”
Di waktu lain, kalo katering-an kita pake sayur yang ada petenya, atau makanan apapun yang pake pete, maka tempat makan saya pun jadi “Recycle Bin” pete.
Huhuahahuhuaha...(mudah-mudahan baunya gak nyampe situ) ; D.

Lelaki yang Terindah (5)

Waktu mengubah segala-galanya tanpa pandang bulu. Para kekasih telah meninggalkan aku. Aku telah berpisah dengan lelaki maupun wanita itu. Dengan hati yang patah, perasaan kosong dan kelabu, kusurukkan diriku dalam beban kerja yang mengalir seperti tiada habis-habisnya. Kuhabiskan hari-hariku dengan ketegangan di bursa saham dan kasino gelap, maupun negosiasi bisnis di resto-resto mahal yang gemerlap. Kadang-kadang kujumpai seorang wanita yang mengajak kencan ke disko atau hotel berbintang. Tapi, semua itu segera terasa membosankan. Aku telah membeli semua impian kenikmatan yang ditawarkan kota besar, namun aku tetap saja merasa hidupku cuma begini-begini saja – tawar, hambar, dan tanpa kejutan.
Sesekali aku masih teringat kepada lelaki yang terindah itu. Ternyata aku tidak pernah benar-benar bisa melupakannya. Dari radio di mobilku, mengalun sepotong lagu.
Maafkanlah daku,
Lupakanlah kita pernah saling cinta…
Kupikir aku tidak usah benar-benar melupakannya. Biarlah sesekali aku teringat padanya. Bagiku ia tetap saja seorang lelaki terindah di dunia. Kupikir, kita tak perlu melupakan siapa pun yang pernah kita cintai.
Kira-kira setahun setelah mendengar lagu itu, kudengar lelaki terindah itu bunuh diri, menembak kemaluannya sendiri.
Aku harus mencari seorang kawan, seorang sahabat. Aku ingin membuat pengakuan atas semua dosa-dosa, yang telah dan akan aku lakukan.

Lelaki yang Terindah (4)

“Aku mencium bau wanita pada dirimu, kekasihku”.
Mampus! Padahal aku sudah mandi. Memang, mandinya masih bersama-sama wanita itu, tapi bau macam apa yang bisa tertinggal sesudah mandi?
Ia seperti bisa membaca pikiranku.
“Aku tak usah mencium apa-apa dari tubuhmu. Kamu tidak mengatakan apa-apa, namun matamu mengatakan semuanya, kekasihku. Aku tahu kamu sedang jatuh cinta. Kamu terlibat dengan seorang wanita”.
Aku mencari-cari alasan.
“Diam kamu! Dasar laki-laki mata keranjang! Laki-laki memang tidak pernah bisa dipercaya! Apa kamu pikir tidak ada seorang pun melihatmu waktu keluar dari motel itu? Apa kamu pikir tidak ada yang mengenali kamu, waktu kamu menjemputnya di airport? Pakai peluk-pelukan lagi! Pakai cium-cium segala! Kamu pikir tidak ada yang melihat waktu wanita itu merebahkan dirinya di pangkuan kamu dalam mobil? Kamu pengkhianat!”
Dalam sekejap, rumah kami sudah hancur lebur. Guci dan piring-piring porselen Dinasti Ming, lukisan Hendra Gunawan, patung kepala kuda, kursi rotan bertenun ikat, keramik Kasongan, tikar Dayak Punan, lampion Jepang, peti bajak laut bikinan Ciputat, komputer, dan vcd player segera menjadi sampah. Ia mengamuk seperti orang gila. Diambilnya pedang samurai yang terpajang di ruang tamu.
“Kupotong barangmu!”
Ia mengejarku sambil mengayun-ayunkan samurai itu seperti ninja. Aku melindungi diriku dengan apa yang bisa kuraih. Kusambar perisai Asmat, tapi segera patah menjadi dua. Kuraih tombak Kraton Yogyakarta, namun rupanya pemuda lembut ini besar juga tenaganya. Dicongkelnya tombak itu sampai terpental. Ia ayunkan samurai itu seperti galah pengering. Putuslah dasiku dibuatnya. Aku melompati kursi, melejit ke atas meja, dan lari ke dapur. Keadaannya benar-benar sudah berantakan.
“Kamu pikir aku tidak punya perasaan? Kamu pikir orang seperti aku ini bukan manusia? Kamu semakin mengesahkan keberadaan diriku sebagai bahan olok-olokan. Tega benar kamu mengkhianati aku, kekasihku, tega benar kamu!”
Ujung pedang itu tiba-tiba saja sudah menempel di bawah daguku. Aku sudah terpojok, kurasakan ketajaman samurai itu seperti pisau silet.
“Aku akan membunuhmu”, katanya, “setelah itu kubunuh pacarmu”.
Aku merayapi dinding, tapi ia lantas menggiringku, aku mundur sampai memasuki kamar mandi. Ia mendorongku dan aku jatuh di bath tub. Astaga! Apakah ia benar-benar akan memotong kemaluanku? Ia menyabetkan samurainya. Tapi, seinci sebelum mengenai dadaku, dihentikannya.
Aku menahan nafas. Ujung samurai itu disentuhkannya merayapi dada, ke bawah, melewati perut, dan berhenti di bawah ikat pinggang.
Air matanya sudah tumpah ruah.
“Buka”, katanya.
Aku mencoba mengulur waktu.
“Buka!”
Dengan pasrah kubuka. Aku berdoa supaya ia tidak benar-benar akan melakukannya. Bukankah aku masih kekasihnya?
Setelah kubuka, air matanya semakin deras mengalir. Tangannya bergetar ketika ia menyenggol-nyenggolnya dengan samurai itu. Rasanya lebih mengerikan daripada saat-saat akan disunat.
Ia mencoba tersenyum.
“Kekasihku, kekasihku”, katanya, “aku benar-benar ingin memotongnya, memasukkannya ke air keras, lalu kupajang di ruang tamu”.
Tapi, samurai itu lantas dibuangnya. Bunyinya berdenting di lantai kamar mandi. Lalu, diterkamnya diriku di dalam bath tub. Diperkosanya diriku diiringi tangisan membahana. Aku lega, dengan sangat menderita, namun aku sudah tidak bisa muntah lagi. Kuterima ciumannya dengan terpaksa, sambil mengucapkan selamat tinggal dalam hati.
Ia terus merangsekku sambil berdesah.
“Kenapa kau khianati aku, kenapa kau khianati aku…..”

Lelaki yang Terindah (3)

Dari balik jendela sebuah restoran, kupandang Jakarta yang tenggelam dalam malam. Dari lantai 30 saja manusia sudah kecil seperti itu, seperti tidak ada artinya. Bagaimana kalau memandangnya dari bulan? Ah, apakah hidup manusia memang harus ada artinya? Dari balik jendela restoran, aku memandang kehidupan yang fana – tidak kekal dan tidak abadi. Lantas, apakah artinya semua kerja keras itu? Masih adakah artinya segala ketegangan, pertarungan antara hidup dan mati itu?
Tapi, hidup di dunia ini barangkali juga sebuah liburan. Kehidupan yang abadi, bukankah itu sangat membosankan? Dari balik jendela restoran, sembari memandang Jakarta digerayangi malam, aku menyadari kesempatanku.
“Hidup itu cuma mampir minum”, kata orang-orang tua.
Baiklah, aku akan minum, lantas jalan-jalan sebentar, sebelum kembali ke alam kehidupan yang abadi di mana aku belum tahu bisa berbuat apa.
Dari balik restoran, aku bertanya pada Tuhan, apakah di surga atau neraka ada bir?
Aku memang sedang minum bir. Barangkali kalau aku punya anak kelak, akan aku katakan kepadanya, “Hidup itu cuma mampir minum bir”. Barangkali akan kutambahkan lagi sebuah kalimat, “Karena itu, bersyukurlah. Karena yang diminum sebentar itu bir, maka artinya hidup ini lumayan juga”.
Setidaknya memang lumayan untuk menunggu.
Sambil menunggu, aku melamunkan sebuah cerita :
Pada suatu hari, yang biasa-biasa saja, seorang lelaki yang sudah biasa bercinta dengan sesama lelaki, melihat seorang lelaki yang belum pernah bercinta dengan sesama lelaki. Memandangnya selintas saja, ia tahu bahwa lelaki itu menyembunyikan segenap kelemahan yang dimilikinya dengan penampilan yang garang. Aku akan menggagahimu, pikirnya, aku akan menggagahi kamu.
Ia melihat lelaki itu memasuki salon. Bahasa tubuhnya yang angkuh membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama.
Sudah begitu banyak lelaki membuatnya jatuh cinta, tapi tak ada yang membuatnya tergila-gila seperti yang satu ini. Ketika ia beranjak mendekatinya, lelaki itu menolak. “Saya minta wanita”, katanya. Terlalu! Akan kubuat dia mengakui, percintaan sesama lelaki itu lebih indah dibanding dengan wanita, pikirnya, akan kubikin dia tahu rasa.
Pada suatu hari yang lain, lelaki itu sudah menjadi pacarnya. Pacar yang tak kunjung habis digila-gilainya. “Jangan engkau meninggalkan aku, kekasihku”, ujarnya selalu pada lelaki itu. Memang, lelaki itu telah mengakui keindahan cinta yang bisa diberikan seorang lelaki kepada lelaki lainnya. Telah dipersembahkannya segenap seluk-beluk permainan cinta di atas ranjang yang paling mungkin dilakukan seorang lelaki kepada seorang lelaki lain, supaya lelaki itu terikat padanya, tak tertarik lagi kepada wanita maupun lelaki lain. Tapi, ia selalu takut lelaki itu akan meninggalkannya, seperti entah berapa lelaki yang telah melewati kehidupannya.
Apa yang ditakutkan, kemudian memang terjadi. Lelaki itu berkata kepadanya, “Kita tidak bisa terus-menerus seperti ini”. Alangkah sedih hatinya. Telah diberikannya seluruh dirinya kepada lelaki itu, ternyata masih kurang juga. Apakah lelaki memang diciptakan untuk wanita? Aku tidak akan melepaskan kamu, kekasihku, pikirnya, aku tidak akan melepaskan kamu selama hayat masih dikandung badan.
Lelaki yang selalu bercinta dengan sesama lelaki itu sebetulnya sangat membenci pikirannya sendiri, tapi ia tidak bisa melepaskannya. Dalam hati ia telah berjanji, kalau pacarnya sampai berkhianat, dan bercinta dengan orang lain, lelaki maupun wanita, ia akan memotong kemaluan pacarnya itu dengan gunting!
Aduh! Perutku mual lagi. Lamunanku buyar. Yang kutunggu sudah datang. Parfumnya yang merangsang itu sudah lebih dulu mengabarkan kedatangannya.
“Sorry, terlambat. Jalanan macet. Sudah lama? Sorry, ya? Kamu marah?”
Sorry. Maaf. Forgive me, please. Eh, bukankah selalu tersedia maaf bagi seorang wanita cantik, bahkan sebelum dia membuat kesalahan apa pun? Kadang-kadang kupikir seorang wanita boleh membuat kesalahan apa saja, asal dia tetap kelihatan cantik dan jelita. Apalagi kalau panas dan membara. Sungguh pikiran yang keterlaluan! Maaf-maaf saja, bukankah banyak wanita sering kali diselamatkan atau dicelakakan hanya karena kewanitaannya?
Begitulah aku selalu, untuk kesekian kalinya jatuh ke dalam pelukan wanita. Api cinta membakar hatiku, seperti kebakaran yang dikobarkan Hanoman sewaktu membumihanguskan Alengka. Brengsek! Kenapa manusia harus mempunyai perasaan seperti itu? Cinta memghabiskan tenaga dan pikiran untuk perkara-perkara sepele, tetek bengek, dan tidak begitu berguna untuk orang lain, tapi siapakah yang bisa menghindarinya? Sungguh aku tak pernah punya firasat apa pun, bahwa suatu ketika dalam hidupku yang begini-begini saja, aku akan terlibat dalam cinta segi tiga dengan seorang wanita maupun pria.
Maka, kami pun bercinta dalam kealpaan semesta. Seorang wanita yang sungguh-sungguh betina menawarkan mulutnya yang lebar untuk permainan cinta yang paling sensual di atas ranjang. Lipsticknya yang berwarna merah darah berlepotan di seluruh tubuhku, dan wangi parfumnya yang merangsang itu meraga sukma dalam diriku. Busyet. Seorang wanita pun bisa menjadi begitu buas seperti singa. Sekian ratus seprei tercabik-cabik, sekian ratus kasur jebol, dan sekian ratus AC meledak karena tak kuasa mengatasi panasnya suhu percintaan kami. Sembari terengah-engah, ia berdeklamasi di telingaku : “Engkau cemburu. Engkau ganas. Mangsa aku dalam cakarmu. Bertukar tangkap dengan lepas”.
Setelah itu, ia meraung. Lantas, terbanting.
“Kita harus segera kawin”, ujar wanita itu, tiba-tiba sekali, sambil mengelap keringatnya dengan bantal.
Aku tercenung, menatap kami berdua yang terkapar pada cermin di langit-langit, dan merasa tua. Pernikahan. Perkawinan. Rumah tangga. Rasanya sampai kapan pun aku tak pernah siap untuk itu.
“Kita belum tentu bahagia kalau kawin”.
“Tapi, aku mulai bosan pacaran. Sudah berapa lama kita pacaran? Mau apa kita? Mau ke mana? Kamu mau kita begini-begini saja? Memangnya kamu anggap aku ini apa?”
Pertanyaan-pertanyaan klasik. Pertanyaan-pertanyaan klise. Pertanyaan-pertanyaan menjengkelkan. Pertanyaan-pertanyaan yang selalu sulit kujawab tanpa membuat seorang wanita tersinggung. Sampai sekarang aku selalu bertanya-tanya, apakah ada wanita yang bisa hidup tanpa mengangankan anak dan pernikahan, tanpa perasaan kesepian.
Terus terang, aku sendiri bosan dengan jawaban-jawaban klasik. Apakah aku harus meninggalkannya saja?
“Aku cinta padamu. Jangan tinggalkan aku. Aku tidak mau berpisah denganmu”.
“Kalau begitu kawinilah aku. Segera !”
Cinta, apa boleh buat, ternyata selalu klasik.

Lelaki yang Terindah (2)

Pada suatu malam jahanam yang lain, kami bersantai di sebuah vila, menghadap jendela yang terbuka. Aku terkapar di sofa, memandang kerlap-kerlip lampu di pegunungan. Kabut meredup cahaya. Ia duduk di lantai, menghitung bulu-bulu di betisku.
“Untuk apa kamu menghitung bulu-bulu di betisku? Tidak ada gunanya”.
“Jangan disela, nanti aku lupa. Aku bukan cuma ingin menghitung bulu-bulu di betismu, aku juga ingin tahu berapa helai jumlah bulu-bulu di seluruh tubuhmu”.
“Di seluruh tubuhku?”
“Ya, aku ingin tahu segala-galanya tentang dirimu”
“Kenapa?”
“Supaya aku lebih mengenal kamu. Bukankah aku harus memahami kamu, kekasihku?”
Kabut mengembun pada jendela. Bersamanya, aku masih selalu berada di suatu tempat entah di mana. Aku tak kunjung terbiasa. Perutku masih selalu seperti mual.
Kulihat wajahnya, tatapannya, masih penuh dengan cinta, penuh dengan pengabdian seperti seorang isteri yang betul-betul setia. Ia telah membuka dasiku, membuka sepatuku, membuka kaus kakiku, dan akhirnya memandikan aku. Hari-hari yang kulewatkan bersamanya adalah hari-hari serba bersih, terawat dan berselera. Hari-hari yang begitu mengkilap, seperti dicuci dengan deterjen. Ia mengurusku, dari kepala sampai ke ujung kaki.
“Sampai kapan kita akan begini?”, tanyaku, sementara angin malam yang basah lewat tanpa permisi.
Ia masih menghitung bulu-bulu itu, entah bagaimana caranya. Kulihat wajahnya jadi tegang, tapi ia berusaha mengatasinya. Aku pun menegaskan apa yang ingin ku katakan padanya.
“Kita tidak bisa terus-terusan seperti ini”.
Ia menatapku, mengelus dahiku.
“Adakah yang kurang dariku, kekasihku?”
“Tidak ada, engkau mengurus aku dengan penuh cinta, lebih dari seorang wanita”.
“Jadi, kenapa? Apakah ada sesuatu yang salah pada diriku? Katakanlah terus terang, nanti kuperbaiki kesalahanku”.
“Tidak ada yang salah pada dirimu. Tidak ada yang kurang”.
“Jadi kenapa, dong? Katakanlah, kenapa kita tidak bisa selalu mesra dan aku bagimu indah?”
“Kita memang selalu dan akan tetap selalu mesra. Dan, jangan khawatir, bagiku kamu akan selalu indah. Tapi aku tak bisa terus-menerus seperti ini”.
“Tapi kenapa, kekasihku, kenapa? Kalau kita bisa bahagia, kenapa kamu harus tidak bisa?”
Aku ingin menjelaskan kepadanya, tapi aku tak punya kata-kata. Bahkan, kepada diriku pun aku sulit memberi pemahaman tentang diriku sendiri. Sungguh aku tak pernah mengerti apa yang terjadi dalam diriku. Barangkali ia lebih mengerti, namun sepertinya ia tidak perduli.
Tanpa melihatku ia berkata dengan perasaan tertahan.
“Janganlah kau tinggalkan aku, kekasihku. Jangan sekali-kali kau berpikir untuk meninggalkan aku”.
Ia tak lagi menghitung bulu-bulu di betisku, melainkan mengusap-usapnya.
“Jangan”, kataku, namun aku tetap saja menyerah dan tak berdaya. Sesigap ular sanca, segera dibelitnya aku, sampai lumat tanpa sisa. Lidahnya membuat diriku mendaki pelangi. Bahkan dengan wanita tak kudapatkan kenikmatan seperti ini.

Lelaki yang Terindah (1)

Suatu ketika dalam hidupku yang cuma begini-begini saja, aku menjumpai seorang lelaki yang terindah di dunia. Aku tak pernah bermimpi, betapa dalam hidupku yang tawar, hambar dan nyaris tanpa kejutan, suatu ketika akan kualami percintaan yang begini rupa. Aku memang tak pernah sedikit pun menyangka, di dunia ini ada seorang lelaki seperti dia, yang wajahnya begitu cantik dan matanya bisa menatapku dengan penuh cinta.
Semua ini dimulai dari sebuah salon termahal di Jakarta, ketika aku duduk di kursi itu, siap digunting, dan menatap ke arah cermin. Kulihat dia siap menggarap rambutku yang basah, tapi kulambaikan tanganku menolaknya.
“Saya minta wanita”, kataku. Dan kulihat wajahnya dari cermin begitu kecewa.
Mestinya aku tak usah peduli tentang wajahnya yang begitu kecewa di cermin itu. Namun, kenyataannya tidak begitu. Aku tak pernah bisa mengerti kenapa wajah itu terus-menerus terbayang olehku. Sampai berhari-hari kemudian setelah peristiwa itu wajahnya masih terbayang-bayang, dan setiap kali menyadarinya aku serasa mau muntah. Meskipun aku seorang lelaki, setiap kali terbayang wajahnya, semakin kusadari betapa cantiknya wajah itu, dan betapa ia memandangku dengan penuh cinta.
Celaka. Aku merasa terganggu dan tidak bisa tidur. Celaka. Aku merasa tersentuh dan terpesona. Celaka!
Debu cinta bertebaran. Ini seperti judul sebuah novel. Debu cinta bertebaran seperti virus – kurang sehat sedikit, kita pun jadi korban. Begitulah aku selalu, terbakar dari cinta yang satu ke cinta yang lain. Sampai hatiku jadi gosong, tak tahu lagi apa artinya cinta. Wanita memberikan segala keindahan yang dimilikinya demi cinta, sampai mereka tidak punya apa-apa lagi. Toh, aku selalu mengagumi wanita. Aku tidak malu untuk mengakui, aku sangat mengagumi wanita karena kewanitaannya, apa pun bentuknya. Apa boleh buat. Tuhan telah menciptakan wanita…
Tapi, kini aku berurusan dengan lelaki. Seorang lelaki terindah di dunia. Telah beratus-ratus bahkan beribu-ribu lelaki lewat di depan mataku, namun aku tak pernah berpikir untuk mempertimbangkan keindahannya. Tentu aku tahu, seorang lelaki bisa menjadi indah, bagi seorang lelaki sekalipun. Namun, aku tak pernah sekejap pun berpikir bahwa ada seorang lelaki di dunia ini yang akan menatapku dengan pandangan penuh cinta dan kecewa – seperti biasa kulihat pada wanita. Betapa sebuah pandangan bisa begitu menggoda!
“Dulu, kenapa kamu memandangku seperti itu?”, tanyaku.
“Aku tidak tahu, kenapa aku memandangmu seperti itu. Hal seperti itu bahkan tak kualami dengan pacarku. Apakah itu yang disebut cinta pada pandangan pertama?”
“Entahlah. Apa yang akan kamu lakukan kalau aku tidak menolakmu?”
“Aku akan menggarap telingamu. Begitu kamu masuk aku sudah tahu kelemahanmu. Akan kuelus-elus telingamu, dan kamu akan memejamkan mata, dan aku akan membungkuk dan berbisik, mengatakan aku terangsang padamu”.
“Hah?”
“Aku juga mau bilang, aku akan memuaskan kamu. Apakah kamu masih akan menolak jika aku melakukannya?”
“Entahlah”
“Yang jelas, aku tahu kamu akan terangsang, seperti sekarang!”
Dan tangannya bergerak membuka ikat pinggangku.
Aku telah diseretnya ke dalam suatu petualangan di negeri antah-berantah. Keringat di tubuhnya yang tembaga, berkilat dalam cahaya malam, membuatnya seperti sebuah patung pualam. Pada malam yang sungguh-sungguh jahanam itu, ia telusuri segenap lekuk tubuhku dan kutelusuri segenap lekuk tubuhnya. Begitulah aku digulungnya, seperti gelombang laut menyerbu daratan.
Ia begitu lembut, memberi dan menanggapi. Ia begitu perkasa, terampil, dan penuh improvisasi. Setelah semuanya selesai, aku muntah-muntah.

Just an ingloriuos story

(This is my first true story in “strange language” hihihihihi…)

I surprised when he told me that he has relationship with a married woman. I didn’t care indeed because I have nothing to do with her. The only thing I cared was him. He is my favorite friend. An educated man, has a good job, smart and has nice personality.
“What do you mean ?”, I asked him calmly.
“Come on, I am a man ! do you think I am too naive ? Everything I did has the reason, and I did it because I have some reason”, He started our argument.
“Then tell me your reason”, I asked him.
“Now promise me first not to tell anyone”, he said.
“Keep my words”, I answered. Then I joked him to put my mouth key into his bag.
“Well,” he said, “I shall be honest with you. If you think this is a sad story, just omitted it because I’m telling you the truth. She is a desperate woman with 2 kids. She has no connection with her husband right now and she has problem with her financial. All I do is just want to help her”.
“Hmm...desperate woman, has no connection with her hubby and got problem with financial…What did she expect to you ? or what did you expect to her ?”, I asked him. I thought he despaired but he was apparently fine.
“Nothing”, he said “but ofcourse my passion still work on. Don’t you know, I love her and everything about her. Is it ridiculous ?”
“No, it is not. The ridiculous one was when you told me about your ex-girlfriend. You asked her to wear a short skirt, black stocking and high heels. Then you had sex with her in the office restroom.” I said.
“Hahahahahaha…”, we laughed.
“Ay, that was life”, he started seriously. “So what do you think ?”
“That’s your business”, I tried to be wise.”You have your own life. Lucky you because she has been seperated with her husband. Well, if you thought has no connection and separate were equal. It wouldn’t be necessary wheter it’s right or wrong. You only want to make her happy, don’t you ?”. He agreed.
“Go on, you look happy recently”, I wished.

Loser

Berapa banyak lagi kebohongan yang akan kamu tawarkan? Berapa puluh lagi kata-kata cinta, kebahagian dan janji manis yang akan kamu ucapkan?
Saya bertemu kamu lagi, wahai pria, hanya dalam sebuah “kebetulan”. Yang kebetulan saja saya sudah mengenal kamu beberapa tahun yang lalu, dan kebetulan juga saya tidak mengetahui seperti apa kamu sebenarnya. Bodohnya, saya begitu saja menerima kamu.
Padahal seseorang yang bijak pernah berkata untuk tidak terburu-buru. Jangan pernah mencoba mencintai seseorang kalau kamu belum bisa mencintai diri sendiri. Saya mencintai diri sendiri, tapi ternyata saya terlalu mencintai orang yang salah.
Saya menghargai kesetiaan, tapi bukan berarti kejujuran bisa seenaknya kamu permainkan. Hey pria, bermain cantik lah. Tidakkah kamu tahu selama ini kamu sudah berhasil membangun kastil kebohongan dalam dirimu sendiri? Yang mungkin telah beberapa kali kamu hancurkan dan membangunnya kembali. Sementara saya? Dalam kesendirian yang mengagumkan ini saya telah berhasil menata rumah kecil dengan berjuta kejujuran di dalamnya.
Saya tidak perlu kecewa atau sakit hati mengingat kebodohan kamu dan kebodohan saya, karena itu adalah kebodohan kita. Saya tidak perlu menangisi kemunafikan kamu karena sedikit berhasil membuai angan-angan saya. Tidak perlu. Semua hanya membuang-buang waktu dan tentu saja akan mematikan pikiran logis saya.
Biarkan saat ini saya memilih untuk tidak akan mengulang kesalahan yang sama. Tidak perlu takut saya akan mengganggu kehidupan kamu. Saya punya kehidupan sendiri. Toh dalam waktu sepersekian detik saya mampu melupakan pria pengecut seperti kamu.

Siomay is in da house

Sudah setahun lebih saya tidak makan siomay. Bukannya lagi ngidam, tapi secara makanan ini langka sekali di kota Kendari. Nih makanan memang salah satu kesukaan saya waktu kuliah di Jogja dulu, selain Pecel Lele. Terakhir kali makan siomay ya waktu saya ke Jogja tahun lalu. Siomay Kang Cepot yang di Jalan Kaliurang km 7. Rasanya…uenaaakk tenan! : D. Saya bisa pesan 2 porsi kalo makan siomaynya itu.

Dan minggu lalu kerinduan saya akan siomay terobati sudah. Dia cuma siomay jalanan. Yang di jual oleh seorang ‘mas’ yang medoknya kental banget. Saya lebih bersyukur lagi karena dia datang di bulan Ramadhan. Di bulan puasa dimana keinginan makan ini-itu lebih besar dibanding bulan-bulan biasa. Bayangkan, saya kalap sekali dengan siomay selama seminggu ini.

Jadilah setiap hari saya janjian dengan ‘mas’ siomay itu (saya belum pernah menanyakan namanya, nantilah saya tanyakan). Setiap hari sejak puasa saya harus pulang cepat dari kantor. Jadi setiap jam 5 teng, saya udah menunggu siomaynya (bukan mas-nya lho hehehe). Dengan harga cuma Rp 5.000,00 sepiring, saya sudah bisa dapat 5 siomay + 1 telur + 2 kentang + 1 kol rebus + 2 tahu goreng. Banyak kan? Enak lagi rasanya. Walaupun memang tidak se-dasyat siomay Kang Cepot, tapi bisa mengobati nafsu makan siomay saya selama ini.

Selama sebulan Ramadhan ini saya telah berjanji akan makan siomay terus setiap malam. Saya anggap dia sebagai makanan selingan, karena toh saya harus tetap makan nasi setelah sholat tarawih. Mudah-mudahan saya bisa makan siomay setiap malam selama puasa ini. Mudah-mudahan mas siomay itu ngga sakit selama bulan Ramadhan ini. Mudah-mudahan mas siomay itu tetap punya modal untuk usaha siomaynya.

Saya tetap tunggu kamu, mas dan siomay. Bagaimanapun, mungkin setelah bulan Ramadhan saya akan selalu pulang menjelang magrib. Mudah-mudahan kita bisa membuat addendum perjanjian untuk bertemu setelah jam 6 malam.

Sakit itu menyakitkan

Sebenarnya saya jarang-jarang sakit. Tapi minggu pagi kemarin bener-bener membuat saya klepek-klepek. Entah apa yang salah dengan pencernaan di dalam perut ini, atau mungkin ada zat makanan yang tidak bisa diterima oleh pencernaan saya. Hasilnya? Saya harus bolak-balik ke kamar mandi. Lemas, pasti. Bener-bener dehidrasi.
Sudah dapat obat dari mama, plus omelan mendidiknya, "Makanya..., jangan suka jajan makanan sembarangan..." (saya tau beliau sedikit konservatif). Kedatangan tante saya yang juga seorang suster, cukup membantu. Direkomendasikanlah obat diare dalam bentuk sirup, Guanistrep. Lucu juga, karena pikir saya, obat dalam bentuk sirup lebih cocok untuk anak balita hehehe. Apalagi dengan rasa strawberrynya. Kebayang kan?
Benar juga kata mama, pikir saya, yang masih tidak berdaya di tempat tidur. Sambil mengingat-ingat kembali makanan apa yang terakhir kali saya makan yang membuat pencernaan saya ngga normal seperti biasanya. Ah! gorengan! ya, gorengan yang saya makan pada malam minggu itu. Tapi tentu saja saya tidak menyalahkan sepenuhnya si gorengan dengan bumbu kacangnya yang enak dan pedesnya menggigit itu. Mungkin kondisi badan saya yang lagi tidak fit, atau mungkin program semi-diet saya untuk tidak mengkonsumsi makanan berat di malam hari (yang saya buat sendiri) yang salah.
Barulah terpikir betapa pentingnya sehat ketika lagi sakit. Betapa pentingnya menjaga kesehatan dengan konsumsi makanan yang sehat. Saya tidak menghakimi bahwa makanan yang dijual di warung-warung adalah tidak sehat (justru disitulah kenikmatannya, toh waktu kost dulu saya suka jajan makanan di warung kaki lima).
Izinlah saya karena sakit selama 2 hari, sembari istirahat dari rutinitas kantor yang 'mengasyikkan' (bagaimanapun, saya mencintai pekerjaan saya).
Sakit itu memang ngga enak. Tapi bukankan kata Rasulullah sakit itu bisa menggugurkan dosa? hehehe.
Saya memang jarang-jarang sakit. Tapi sekali jatuh sakit langsung klepek-klepek. Lebih baik sakit hati kalau tau akan begini.

TEGANGAN ANTARA BENTUK DAN ISI - Telaah Karya Sastra


Apa yang membuat sebuah tulisan berkarakter dan berbobot sastrawi, telah menjadi bahan perdebatan yang tak habis-habisnya. Karakter sastrawi itu konon terletak pada kedalaman emosi dan keunikan gagasan ungkapan pribadi (kaum ekspresionis), atau konon juga pada totalitas efek kesan yang ditampilkannya (kaum impresionis), atau pada apa yang di’representasi’kannya, misalnya, kelas sosial tertentu, kepentingan politik, kecenderungan kultural, dan sebagainya.
Kaum formalis Rusia lain lagi. Mereka melihat bobot sastrawi sebuah karya terutama pada kemampuan karya itu memperbaharui persepsi kita. Kemampuan itu terutama terletak pada ketidaklaziman atau siasat ‘defamiliarisasi’ yang dimainkan si penulis (Victor Shklozsky).
Keunikan perpaduan antar berbagai komponen dalam teks beserta permainan imaji yang tidak biasa, memungkinkan kita melihat realitas secara baru, memberikan sensasi dan visi baru (realitas biasanya kita persepsikan dengan pola rutin hingga kita kehilangan rasa dan makna tentangnya). Dalam kerangka itu segala unsur terkandung dalam ‘bentuk’ (form) sangatlah menentukan ‘isi’ maknawinya (content).
Keunikan isi sebuah karya sastra dibangun oleh komponen dan struktur intern ‘bentuk’nya (Roman Jakobson, Mukarovsky). Sayangnya, pendekatan kaum formalis macam ini kerap mudah terjebak dalam kegemaran memindai struktur dan pola-pola formal secara berlebihan dan kaku, hingga terasa mencari-cari dan memaksa.
Dalam sastra, kata-kata tidak berperan sebagai pembentuk pernyataan logis-kognitif, melainkan sebagai kuas untuk melukis, citra untuk merangsang imajinasi atau sensasi, permainan simbol yang menyeret kita masuk dan merasakan kompleksitas pengalaman. Itu pendapat kelompok New Criticism Amerika, yang saya kira penting. Dan ini agak paralel dengan arah kaum Post-strukturalis yang melihat kekuatan karya sastra dalam subversi logikanya, dalam percampuran kode semiotisnya yang tak terduga, dalam pergeseran-pergeseran makna yang dimainkannya lewat dialog, monolog atau narasi.
Dalam kerangka teoritis di atas masih bisa diperpanjang. Dan tentu ada seribu tujuh cara untuk membaca sebuah teks sastra. Masalahnya, kendati segala teori itu sangatlah membantu dalam memperlihatkan berbagai kemungkinan, aspek dan kekuatan sebuah teks, toh setiap karya sastra umumnya tampil dengan keunikan dan integritas sendiri. Sedemikian hingga setiap berhadapan dengan karya baru, selalu saja kita bagai berhadapan dengan sosok yang sama sekali asing, yang tak mudah dipahami lewat segala kategorisasi yang telah kita miliki.
Seperti dalam dunia seni umumnya, dalam dunia sastra pun semakin berbobot suatu karya biasanya justru semakin asing, semakin misterius dan tak terduga. Dan lantas cara paling realistis akhirnya adalah langsung saja menggauli karya itu tanpa banyak pretensi, dan lewat pembacaan kita, karya itu sedikit demi sedikit membukakan dirinya sendiri, menunjukan sendiri dimana kekuatan yang dimilikinya dan bagaimana sebaiknya ia dibaca.
Apa boleh buat, salah satu kekuatan utama karya seni memang adalah kebaruan, keunikan cara pengungkapan. Sedangkan isi substansi dunia manusia dari dulu hingga kini pada tingkat terdalam boleh jadi sebenarnya sama saja (itu sebabnya filsafat Yunani, atau inspirasi agama-agama besar dari ribuan tahun silam pun hingga kini tetap relevan, tak pernah kadaluwarsa).
Pemikiran dan inspirasi baru muncul kembali setiap kali hanya karena cara memperkatakannya yang berbeda, karena sudut pandang yang digunakan, karena imaji-imaji tak lazim yang dimainkannya. Imajinasi manusia yang teramat kaya setiap kali menemukan cara uniknya sendiri yang berbeda untuk mengungkapkan kebenaran terdalam yang sama, kebenaran yang mungkin abadi, kendati juga selalu tersembunyi.
Banyak cerpen yang keasyikan terhanyut dalam pergumulan konseptual sehingga pengemasan dalam bahasa dan pengorganisasian komponen-komponennya tak cukup tergarap. Akibatnya, cerpen-cerpen itu, kendati secara intelektual tampak cerdas dan sesekali mengejutkan, toh tidak sungguh menyengat perasaan, tidak menggelembungkan imajinasi ataupun menggedor kesadaran.
Kekuatan cerpen bisa diletakkan pada daya puitiknya. Puitik dalam artian : hemat, tepat dan dasyat. Artinya, kemampuan melahirkan sugesti dasyat lewat konstruksi linguistik singkat ; menimbulkan efek maksimal dengan upaya minimal. ‘Puitik’ bisa berarti pula melukiskan tanpa menjelaskan, atau juga cerdik membetot suatu fenomen ke ruang dalamnya yang paling pelik, dan sebaliknya, ke ruang luarnya yang paling kosmik, hanya dengan menggenjot efisiensi dan kekuatan kata. Cerpen bukanlah novel. Sifatnya yang pendek justru memaksa penulis untuk menimbulkan efek maksimal dengan cara minimal.
Puitik bersandar pada kecerdikan mengambil sudut pandang, menata alur, dan melukiskan interioritas dan suasana secara dasyat lewat bahasa sederhana, tanpa frasa keriting yang pelik, tanpa pelintiran kata yang mengada-ada. Puitik lantas adalah soal kecerdasan penggunaan tanpa batas sistem linguistik yang serba terbatas. Puitisasi bisa juga dilakukan dengan siasat surealis, yaitu meletakkan semua komponen pada latar situasi yang tak masuk akal, serupa alam impian. Keuntungan strategis macam ini adalah bahwa penulis mempunyai peluang lebih bebas untuk menciptakan suasana, alur, maupun karakter semaunya, tanpa terlampau terikat hukum logika.
Surealisme, seringkali berhadapan dengan resiko lazim. Penggunaan idiom-idiom yang agak kabur, dan gagasan yang sering samar terselimuti kalimat-kalimat liris indah yang kadang tak tentu arah. Surealisme baru bernilai manakala situasi bawah sadar maupun imajinasi memang dibebaskan sampai menemukan titik-titik artikulasi paling signifikan. Tetapi, kebebasan itu membawa resiko ketidakjelasan isi maupun bentuk formal. Memang dilematis.
Cerpen bisa pula memberi tekanan pada suasana yang bersifat impresionis : kelebatan-kelebatan kesan yang melayang, tetapi meninggalkan jejak-jejak misteri yang menawan dan mendalam.
Menulis cerpen tampaknya memang bisa lebih berat daripada menulis novel, sekurang-kurangnya dalam hal menyiasati berbagai komponen (alur, karakter, konflik, suspens, gagasan dan sebagainya) menjadi bentukan yang ringkas, padat, tepat dan berefek dasyat.

Aku dan Tengah Malam (2)

ini waktu yang sempurna
memaksa mata mencari cahaya
seandainya bisa melihat dunia lagi
geliat tubuh yang menang melawan dingin malam
menggerak jiwa untuk duduk sejenak
menyadari masih ada kehidupan di raga ini

ini waktu yang sempurna
kukatakan padamu sekali lagi
sentuhan air sejuk di permukaan kulit suci
membasuh titik-titik lapang untuk disucikan
tiga kali dan tiga kali

ini adalah waktu yang sempurna
katakan pada jiwaku yang berdebu ingin bersih
sedang ada lubang feronom dalam sukma yang menganga
memohon ditutup dengan ladang hijau firdaus
katakan pada Tuhan jika denting malam sunyi ini
ialah waktu yang tepat untuk bercengkerama

waktu yang sempurna, aku sedang curhat dengan Tuhan

kena sindrom

rrrhhggghhh...kenapa hari ini kena sindrom I hate monday lagi ?!

padahal minggu lalu abis gajian...
padahal ada lagu rap dari tapedeck Sony di ruangan ini...
padahal ada instrumen Kenny G dari speaker ruangan ini...
padahal ada teman-teman dengan joke lacurnya di ruangan ini...

rasanya mual
seperti mau muntah saja

Aku dan Tengah Malam

ini waktu yang sempurna
bulan meninggi dan kelamnya biru
tak sehitam tirai temaram jam yang lalu
mendadak sepi jadi pasar malam
meriuh riweh dalam sunyi
berlaksa benak di semburat remang

ini waktu yang sempurna
kukatakan padamu
waktu antara bayang lenyap dalam hitungan menit
dan gelisah malam kawin dengan remuk membisu dini hari

ini waktu yang sempurna
untuk mendengar celoteh-celoteh bisu di kota kesunyian
sapa dan dakwa memilah rasa di balai-balai sanubari
menyusur dinding-dinding yang kabur di terang hari
mengenali wajah anak-anak sendiri
mengantri membacakan isi hati di bawah selimut aksara

ini adalah waktu yang sempurna
dimana hanya impian yang luncurkan makna
dan aku bebas berkelana di pesisir kuantum awan-awan

waktu sempurna bumi dan aku berdenting resonan

Buku Sang Profesor

Ketika masuk ke kamar Bapak, tidak sengaja saya melihat sebuah buku yang pantas menjadi perhatian mata saya. Judulnya “Jejak Langkah Prof.Ir.H.Mahmud Hamundu, M.Sc – Antara Jalur Akademik dan Politik”. Yang saya tau dia adalah Rektor Universitas Halu Oleo saat ini. Pernah bertemu sekali dalam acara Aqiqah anak kakak pertama saya. Lebih dari itu, saya belum butuh bertemu dengan bapak Rektor ini.
Saya tau buku ini hanyalah pemberian untuk seorang teman. Tanpa berpikir dua kali karena Bapak tidak pernah membeli buku biografi atau kisah sukses seseorang dengan sengaja (kecuali buku Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad SAW - H.M.H Al-Hamid Al-Husaini yang selalu berada di atas meja kerjanya yang tebalnya ngga kalah dengan buku Harry Potter terbaru : D).
‘Diculik’lah buku itu ke kamar saya (bener! Saya belum membaca tulisan di cover belakangnya). Dari daftar isi saya sudah tau seperti apa rangkaian isi di dalam buku itu (saya membacanya sepintas saja tapi pasti). Cerita di mulai dengan kelahirannya, kehidupan semasa kecilnya, masa-masa sekolahnya di SMP hingga SMA, pengalaman organisasinya semasa kuliah, keputusannya memilih menjadi dosen (Bab 3 ini yang judulnya funky – Dosen sebagai pilihan sadar), visinya (yang dianggap visioner) sebagai pemimpin Unhalu, tentang pengabdiannya pada masyarakat, sampai langkah-langkahnya menginjak dunia politik (Basri Hasanuddin, Duta Besar RI di Teheran, menyebut ini sebagai gejala brain-drain, dimana beberapa profesor Perguruan Tinggi telah beralih profesi menjadi Politisi).
Begitulah. Seperti cerita biografi seseorang secara umum. Eksplisit dan selalu berusaha menggairahkan publik. Sampai ketika ada yang menjadi perhatian mata saya (lagi). Tulisan 3 baris di cover belakang.
Buku ini patut dibaca oleh generasi muda, kaum
profesional, akademisi, politisi dan siapapun
yang ingin sukses dalam berorganisasi dan berkarier
Tergolong yang manakah saya ? Apalah saya ini ? Hanya seorang feminis yang malas, lajang, masih tinggal dengan orang tua, ngga perlu pusing bayar listrik, belum perlu pusing mau makan apa hari ini (kadang-kadang juga self service). Hanya dua pekerjaan yang saya masih lakukan sendiri (mencuci dan menyetrika : D). Itupun tentu saja dengan masih menggunakan fasilitas di rumah orang tua. Selebihnya, panggil saja saya ‘Si Parasit Lajang’.
Buku itupun saya kembalikan ke kamar Bapak. Buku itu bukan untuk saya.

Huahahahaha

Huahahahaha...

Kemarin sore waktu pulang dari kantor, ada pemandangan 'lucu' di depan rumah saya. Ada umbul-umbulnya ! hihihi...ini rumahku atau kantor kelurahan nih. Lucu aja gitu, soalnya sepanjang jalan Bunga Kamboja cuman atu-atunya rumah yang pake umbul-umbul. Ntar dikirain semangat nasionalisme penghuni rumah ini tinggi banget niy : D.

Sempat berburuk sangka juga sama Bapak (hehe, sorry Dad). Nih pasti idenya Bapak niy hihihi : D. Ternyata waktu nanyain orang di rumah, pasang umbul-umbul tuh idenya mama...hehehe

Ah, ada-ada aja. Ga pa-pa, biar ajah : D

Dilema Ningsih

Namanya Ningsih. Umurnya 17 tahun. Asalnya dari desa Sabangka di Kabupaten Muna. Sudah 2 tahun belakangan ini dia tinggal bersama kami. Buat kami, Ningsih sudah jadi bagian dari keluarga. Kami tidak membedakan apapun dari dia. Dan rasanya semua yang pernah tinggal bersama kami pun begitu.

Sudah dua kali Ningsih pergi dengan alasan ingin pulang kampung dan mencoba peruntungan di kota Makassar. Tapi tetap saja kembali ke rumah kami. Kangen, katanya.

Minggu lalu saya dikejutkan dengan pernyataannya. “Saya sudah menikah”, kata Ningsih. Dengan tenang saja saya menanggapinya. Hanya naluri kamilah sesama wanita yang membuat dia mau menceritakan semuanya.

Adalah seorang pria berusia 25 tahun asal Flores yang menikahinya awal tahun ini (dia pun lupa tepatnya bulan berapa, saat dia mencoba survive di kota Makassar). Berceritalah dia dengan semua awal dan akhir pernikahannya. Dengan alasan perbedaan keyakinan, dia tidak ingin mengikuti keyakinan pria non muslim itu, berakhirlah pernikahannya yang hanya berusia 1 bulan. Tragis.

Ningsih hanyalah satu dari ningsih-ningsih lain yang ada di sekitar kita. Dia tidak pernah menginginkan untuk menjalani hidup seperti itu. Baiklah, kita anggap saja itu takdirnya.

Saya lalu memposisikan diri saya terhadap dia. Sekedar untuk melatih kepekaan saja. Ternyata tidak selamanya paradigma ‘Hidup adalah pilihan’ itu benar. Kalau saya adalah Ningsih, apakan saya bisa memilih menjadi Agnes Monica saja? Atau kalau saya adalah seorang pengemis, apakah saya bisa memilih untuk menjadi seorang konglomerat saja? Saya menyebutnya itu sebagai omong kosong yang rasional.

Marilah bermain logika matematis. Jika Ningsih berada di titik (0,0) dan Agnes Monica berada di titik (0,100), berapa waktu yang dibutuhkan Ningsih untuk mencapai titik (100,0) sehingga dia bisa tegak lurus dengan Agnes Monica? Probabilitas yang semu. Ningsih akan stagnan di titiknya.

Ada sesuatu yang selalu menjadi dominasi pemikian saya selama ini. Katakanlah lagi-lagi ini mengenai sebuah ‘takdir’. Kadang-kadang kita melakukan sesuatu yang hebat dengan kekuatan dan usaha yang maksimal, akan tetapi takdir tidak berpihak kepada kita. Di sisi lain, takdir lebih dulu mendatangi kita tanpa kita inginkan kehadirannya.

Ningsih mungkin tidak akan berpikir seperti saya. Yang berpikir mengapa dia ditakdirkan menjalani 1 bulan saja pernikahannya, atau berpikir mengapa jalan hidupnya harus seperti itu. Buat dia, hari-hari bersama seorang sopir mobil barang saat ini jauh lebih indah daripada memikirkan pilihan-pilihan hidup.

MeNyepi di Bali

Tidak salah saya memilih libur ke Bali 4 bulan yang lalu. Dan saya benar-benar menikmatinya. Saya memilih pergi pada saat itu cuma satu alasan, ada Hari Raya Nyepi. Saya mau merasakan seperti apa me’nyepi’ di Bali itu. Sedangkan jalan-jalan ke obyek wisata yang lain hanyalah bagian dari liburan itu saja. Dan saya tau nanti akan banyak seremonial keagamaan dan pertunjukan seni.
Dalam perjalanan dari Bandara ke hotel, sopir taksi sudah mulai cerita kalau Nyepi nanti ada pawai “Ogoh-ogoh”. Apa sih Ogoh-ogoh itu ? Ogoh-ogoh adalah patung besar sebagai simbol raksasa (bhutakala). Ogoh-ogoh dibuat menyerupai tokoh-tokoh dewa, pahlawan dan binatang dalam kepercayaan agama Hindu. Sebenarnya ogoh-ogoh bukan hal esensial dalam pelaksanaan prosesi Nyepi, ogoh-ogoh hanyalah sebuah tradisi baru. Pada malam pengerupukan (sehari sebelum Nyepi), biasanya ogoh-ogoh akan diarak sebagai tontonan. Konon ceritanya, ogoh-ogoh punya cerita unik dan agak horor. Cuma warga Renon yang tidak berani membuat ogoh-ogoh. Pada tahun 1988 di desa Renon, ogoh-ogoh yang baru menjadi trend di kalangan anak muda Bali pernah berubah wujud menjadi hidup dan berjalan sendiri. Akhirnya ogoh-ogoh itu pun dibakar. Sampai saat ini setiap kali setelah diarak, ogoh-ogoh harus dibakar untuk menolak makhlus halus yang ingin memanfaatkan wujud ogoh-ogoh sebagai wujud aslinya. Percaya ngga?
Saya memilih hotel di kawasan Kuta. Yah, cuma hotel murah untuk turis dadakan seperti saya. Tapi saya heran karena saya satu-satunya orang Indonesia yang menghuni di hotel itu. Tepatnya di jalan Poppies Lane II. Kemana-mana saya bisa pergi dengan berjalan kaki saja. Dekat dengan pantai Kuta, Kuta Square, McD, Circle K, dan jalan Legian. Dan saya ngga perlu khawatir karena disekitar hotel itu ada juga yang menjual makanan muslim.
Setelah menyimpan travelling bag, saya ngga mau melewatkan hari pertama saya. Berbekal sunblock SPF 50 karena cuaca yang panas dan sunglasses supaya mata ngga silau, saya sudah niat harus jalan siang itu. Sekalian cari makan siang. Setelah minta peta dari resepsionis hotel dan sedikit petunjuk jalan, saya nekat saja. Tidak mengapalah, masih wilayah Indonesia ini. Toh saya akan bertanya kalau saya nanti tersesat. Sebagai kota wisata seperti Jogja, orang-orangnya pasti lebih terbuka dan ramah menghadapi wisatawan.
Sepanjang jalan dari Poppies Lane ke Legian, saya merasa asing sendiri. Heh? Saya lagi di Bali atau di luar negeri? Sepanjang jalan saya banyak ditawari sesuatu. Apa karena tampang saya seperti philippines ? : D. Jadi ingat teman Jerman saya, Arved. Dia cerita tentang kunjungan pertamanya ke Bali. Sepanjang jalan Legian dia banyak ditawari drugs dan wanita. Mariyuana, Sir ?…Woman, Sir ? ….Seperti itulah.
Sehari sebelum hari Nyepi (malam pengerupukan), di perempatan jalan Legian - Seminyak ada pawai ogoh-ogoh. Pertunjukannya diadakan malam hari. Tapi sejak sore sudah banyak ogoh-ogoh di sepanjang jalan itu. Sebelum pertunjukannya, ogoh-ogoh sudah di perlihatkan untuk umum. Sekaligus jadi obyek foto para turis. Walaupun saya harus nonton berdesakan dengan banyak orang, tapi saya sangat menikmatinya. Sempat was-was juga sih, karena kawasan Seminyak pernah jadi target bom Bali.

Tibalah hari Nyepi. Resepsionis hotel sudah mewanti-wanti penghuni hotel tidak membuat keributan. Lampu di kamar hotel boleh dinyalakan, tapi tidak suara tape atau TV. Untuk hal yang satu ini, ternyata orang bule sangat toleransi. Semua memilih menghabiskan waktu di hotel saja. Ada yang menghabiskan waktu ngobrol di lobby, berenang, atau cuma tidur-tiduran di pinggir kolam renang. Saya tidur-tiduran saja di kamar.

Malam harinya adalah puncak hari Nyepi. Di lobby dan halaman hotel cuma diterangi dengan lilin-lilin, sedangkan lampu di kamar-kamar hotel boleh dinyalakan. Senyap. Saya cuma mendengar suara air dari kolam renang. Sesekali tawa canda bule-bule yang menghabiskan malam di kolam renang hotel. Untung saja malam sebelumnya saya sudah menyiapkan banyak makanan dan cemilan.

Resepsionis hotelnya berbagi cerita tentang keadaan di luar (di jalan dan di rumah-rumah) saat hari Nyepi. Jangan coba-coba keluar pada siang hari kalo ngga mau kena denda. Dendanya juga ngga main-main jumlahnya. Bisa sampai ratusan ribu. Bahkan pernah ada warga asing yang kena denda 5 juta rupiah karena bermotor di jalan saat hari Nyepi. Yang bertugas menjaga dan memberi denda disebut ‘pecalang’, yang terdiri dari orang-orang non hindu termasuk orang muslim. Betapa indahnya bertoleransi.

Esok harinya semua aktifitas kembali normal. Toko-toko dan hotel-hotel tidak tampak senyap lagi, dan turis-turis pun kembali melenggang di jalan. Saya pun bersiap-siap mengunjungi obyek-obyek wisatanya. Ah, akhirnya bisa juga saya melewati hari Nyepi di Bali ini. Terbayang saya akan kembali bersama sang suami, untuk me’nyepi’ dan berbulan madu…

KuldesaK (kulakukan karena terdesak)

tadi malam kepala saya kena kram otak
otak kecil seperti terkotak-kotak
otak besar seperti mau meledak
ternyata pikiran saya cuma lagi stuck

pergi ke kantor saya masih mengantuk
sementara yang lain sudah krasak-krusuk
dua orang pura-pura sibuk
oh, ada juga yang tidak masuk

pukul dua belas sudah waktu istirahat
inilah waktu tubuh harus berehat
lapar di perut sudah mendarat
banyak makan supaya tetap sehat

sore hari di kursi saya hampir jatuh terpelanting
ketika bersama teman-teman lagi chatting
pukul lima jarum jam sudah berdenting
sepertinya saya harus pulang sebelum terbanting

08.08.2007

laki-laki penghayal


Kemana akan kita habiskan waktu, Sayang ?


Bagaimana kalau kita habiskan waktu menunggu sunset di pantai Dreamland Uluwatu ?
Atau……
Bagaimana kalau kita habiskan waktu mendayung kayak di Danau Adirondack ?
Atau……
Bagaimana kalau kita habiskan waktu menyeruput pinacolada di pulau Oahu Hawaii ?
Atau……


Ah, sudah ! Kamu tidak punya cukup uang untuk itu
Bagaimana kalau kita habiskan saja waktu bersama di kamar ini
Ya, di kamar ini
Hanya saya dan kamu


07.08.2007

Perempuan Jaim


Suatu siang di rumah makan ‘N’, saya lagi nunggu pesanan makanan. Mie goreng jawa, yummmy…duh, lapar banget waktu itu. Saya memilih duduk paling depan, dekat dapur umum. Dapur umum karena orang bisa lewat lalu lalang di sampingnya. Kalo saya memilih tempat itu karena ingin melihat cara masaknya saja, sambil melihat ke jalan in case Josh Hartnett lewat dan mampir untuk mencium saya : D. Hehehe ngga apa-apa sedikit berfantasi sebelum makan : D.
Masih berfantasi dengan Josh Hartnett (hoeks…), datanglah 2 orang cewek. Not bad, manis-manis juga. Sepertinya seusia saya atau mungkin lebih muda (hiks…), memilih duduk di meja sebelah saya.
Sebenarnya saya ngga perduli dengan kedatangan mereka, toh saya ngga kenal juga. Tapi yang tiba-tiba menggugah perhatian adalah karena mereka men’jaim’kan diri. Hari gini?? Jaim??? Duh…, ngapain sih jaim…lha wong mo makan kok jaim ??? Ya Allah …tolong! (mpok Atiek mode on). Biasa aja napa…
Seperti inilah jaimnya cewek-cewek manis itu ; duduknya manis, bak ‘your highness’ Queen Elizabeth II, ngomongnya diatur (plus logat okotnya), senyuman di bibir ngga lebih dari 1 cm ke kiri dan 1 cm ke kanan. Model??? Hmm...ngga juga… secara body masih lebih bagus disini hehehe.
Ah whatever, siapapun kamu saya ngga perduli! Lha wong saya kesini mau makan kok. Dan saya juga ngga mau menambah dosa dengan menghujat orang : D. Cuma yang membuat saya berpikir adalah…Jaim ??? Hah! Itu bukan saya!
Buat saya, Jaim itu bisa mematikan kreatifitas. Saya jadi ingat teman cewek di kantor, kalo lagi jaim udah deh, weleh weleh…kalo diajak ngomong itu lho, ngga konsen dia! Ditanyain ini, jawabnya itu. Bikin sebel ah.
Disaat orang membutuhkan kenyamanan untuk melakukan aktifitas apapun, jaim tuh ngga ada gunanya. Bahkan untuk acara formal pun orang tuh seharusnya ngga perlu jaim. Bersikap yang wajar. Cuma itu aja kok.
Manusia memang ngga ada yang sempurna. Tapi bukan berarti kita harus jaim untuk menjadikan diri seakan-akan ‘sempurna’. Benar saja apa yang saya pikirkan waktu itu, tidak ada hal yang paling membahagiakan di dunia ini selain bisa menjadi diri sendiri.

Blog in my mind

Menyedihkan : (...hiks...awalnya mo nyoba aja buat blog. Bener-bener gak pernah kepikir kalo ternyata membuat blog itu banyak menyita waktu juga. Huh...akhirnya dengan mencuri waktu dan ngerjain di sela-sela waktu kerja, jadilah blog yang garing ini : D. Ga papa lah hehehe. Ntar juga dibenerin dikit-dikit.
Sekian dulu...Mohon dicaci maki...: D