Lelaki yang Terindah (4)

“Aku mencium bau wanita pada dirimu, kekasihku”.
Mampus! Padahal aku sudah mandi. Memang, mandinya masih bersama-sama wanita itu, tapi bau macam apa yang bisa tertinggal sesudah mandi?
Ia seperti bisa membaca pikiranku.
“Aku tak usah mencium apa-apa dari tubuhmu. Kamu tidak mengatakan apa-apa, namun matamu mengatakan semuanya, kekasihku. Aku tahu kamu sedang jatuh cinta. Kamu terlibat dengan seorang wanita”.
Aku mencari-cari alasan.
“Diam kamu! Dasar laki-laki mata keranjang! Laki-laki memang tidak pernah bisa dipercaya! Apa kamu pikir tidak ada seorang pun melihatmu waktu keluar dari motel itu? Apa kamu pikir tidak ada yang mengenali kamu, waktu kamu menjemputnya di airport? Pakai peluk-pelukan lagi! Pakai cium-cium segala! Kamu pikir tidak ada yang melihat waktu wanita itu merebahkan dirinya di pangkuan kamu dalam mobil? Kamu pengkhianat!”
Dalam sekejap, rumah kami sudah hancur lebur. Guci dan piring-piring porselen Dinasti Ming, lukisan Hendra Gunawan, patung kepala kuda, kursi rotan bertenun ikat, keramik Kasongan, tikar Dayak Punan, lampion Jepang, peti bajak laut bikinan Ciputat, komputer, dan vcd player segera menjadi sampah. Ia mengamuk seperti orang gila. Diambilnya pedang samurai yang terpajang di ruang tamu.
“Kupotong barangmu!”
Ia mengejarku sambil mengayun-ayunkan samurai itu seperti ninja. Aku melindungi diriku dengan apa yang bisa kuraih. Kusambar perisai Asmat, tapi segera patah menjadi dua. Kuraih tombak Kraton Yogyakarta, namun rupanya pemuda lembut ini besar juga tenaganya. Dicongkelnya tombak itu sampai terpental. Ia ayunkan samurai itu seperti galah pengering. Putuslah dasiku dibuatnya. Aku melompati kursi, melejit ke atas meja, dan lari ke dapur. Keadaannya benar-benar sudah berantakan.
“Kamu pikir aku tidak punya perasaan? Kamu pikir orang seperti aku ini bukan manusia? Kamu semakin mengesahkan keberadaan diriku sebagai bahan olok-olokan. Tega benar kamu mengkhianati aku, kekasihku, tega benar kamu!”
Ujung pedang itu tiba-tiba saja sudah menempel di bawah daguku. Aku sudah terpojok, kurasakan ketajaman samurai itu seperti pisau silet.
“Aku akan membunuhmu”, katanya, “setelah itu kubunuh pacarmu”.
Aku merayapi dinding, tapi ia lantas menggiringku, aku mundur sampai memasuki kamar mandi. Ia mendorongku dan aku jatuh di bath tub. Astaga! Apakah ia benar-benar akan memotong kemaluanku? Ia menyabetkan samurainya. Tapi, seinci sebelum mengenai dadaku, dihentikannya.
Aku menahan nafas. Ujung samurai itu disentuhkannya merayapi dada, ke bawah, melewati perut, dan berhenti di bawah ikat pinggang.
Air matanya sudah tumpah ruah.
“Buka”, katanya.
Aku mencoba mengulur waktu.
“Buka!”
Dengan pasrah kubuka. Aku berdoa supaya ia tidak benar-benar akan melakukannya. Bukankah aku masih kekasihnya?
Setelah kubuka, air matanya semakin deras mengalir. Tangannya bergetar ketika ia menyenggol-nyenggolnya dengan samurai itu. Rasanya lebih mengerikan daripada saat-saat akan disunat.
Ia mencoba tersenyum.
“Kekasihku, kekasihku”, katanya, “aku benar-benar ingin memotongnya, memasukkannya ke air keras, lalu kupajang di ruang tamu”.
Tapi, samurai itu lantas dibuangnya. Bunyinya berdenting di lantai kamar mandi. Lalu, diterkamnya diriku di dalam bath tub. Diperkosanya diriku diiringi tangisan membahana. Aku lega, dengan sangat menderita, namun aku sudah tidak bisa muntah lagi. Kuterima ciumannya dengan terpaksa, sambil mengucapkan selamat tinggal dalam hati.
Ia terus merangsekku sambil berdesah.
“Kenapa kau khianati aku, kenapa kau khianati aku…..”

0 comments: