Merendah itu Indah

Saya dapat satu kalimat yang bagus lagi, Merendah itu Indah. Awalnya susah juga sih mendeskripsikan kalimat ini, tapi kalo melihat ‘lebih dalam’ (dooohhh…;))) baru terasa maknanya. Saya cuma ngambil contoh kenapa air laut jumlahnya lebih banyak dibanding air sungai. Dan jawabannya sederhana, karena air laut berani merendah.
Saya pribadi, yang pemalu ini :, rasanya sudah lama punya sikap yang merendah. Dan saya gak menilai diri subyektif kok, karena kata teman-teman saya juga begitu. Dalam hidup saya yang penuh rasa syukur kepada Tuhan, saya telah mencapai banyak sekali hal dalam hidup ini (jadi mellow nih…:D). Kalau uang dan jabatan ukurannya, saya memang bukan orang hebat. Tetapi kalau rasa syukur ukurannya, Tuhan tau dalam klasifikasi manusia mana saya ini hidup. Dan semua ini saya peroleh lebih banyak karena keberanian merendah.
Ada yang menyebut kehidupan itu seperti kaos kaki yang diinjak-injak orang. Orang yang menyebut demikian, hidupnya lebih maju. Dan saya pun melaju dengan kehidupan saya. Entah kebetulan atau tidak. Entah paham atau tidak tentang filosofi hidup saya seperti ini. Saya mengutip kata Rabin Dranath Tagore : “Kita bertemu yang Maha Tinggi, ketika kita rendah hati”.

Tentang film Fitna

Kemarin saya chatting dengan kakak cowok saya yang lagi kuliah di Rotterdam, Belanda. Karena sekarang di Indonesia lagi hangat-hangatnya di perbincangkan film ‘Fitna’ yang dibuat si Geert Wilders, seorang politisi Kerajaan Belanda, jadinya saya nanya juga reaksi orang-orang Indonesia Muslim yang ada di sana. Saya cerita, di sini film itu dikecam banget, Kedubes Belanda di Jakarta di demo, Konsulat Belanda di Medan juga. Pernyataan Dubes Belanda untuk Indonesia di TV sedikit menenangkan reaksi orang-orang Muslim di Indonesia. Katanya, film itu tidak mencerminkan pemikiran orang Belanda pada umumnya, itu cuma pemikiran sepihak dari Wilders. Di Belanda pun film ini tidak ditayangkan. Dan cara Wilders menyebarluaskan hanya lewat internet.
Dan benar yang diucapkan pak Dubes Belanda itu. Kata kakak saya, reaksi saat ini baik orang Muslim maupun non Muslim yang ada di Belanda gak ada yang heboh. Karena orang-orang di sana udah tau kalo Wilders itu orang ‘gila’. Gak ada satu pun stasiun TV di Belanda yang mau memutar film itu, karena gak mau ngambil resiko kena cekal. Selain itu, Wilders yang Atheis ini kan dikecam keras sesama anggota parlemen, karena kelakuannya itu sama sekali gak mewakili pemerintah Belanda. Yah intinya sih, orang-orang Muslim di Belanda saat ini gak begitu khawatir.
Saya sendiri belum nonton juga film itu. Well, kita doain saja deh semua kejadian ini akhirnya akan baik-baik saja.

ABC : Acceptance Before Change

Dari beragam kompleksitas peristiwa, situasi, dan masalah dalam kehidupan kita, tahukah kamu ada dua elemen yang senantiasa hadir satu sama lain dalam hidup kita? Kedua hal itu bagai mitra abadi yang bernama ‘perubahan’ dan ‘penerimaan’.
Kita semua tentu pernah mengalami masalah karir, rejeki, cinta, kesehatan serta segala masalah hidup. Teka-teki besarnya adalah apakah kamu bisa menemukan satu hal tunggal yang mengawali dan mengakhiri setiap masalah? Sebagai petunjuk tambahan, hal tunggal ini merupakan hal yang sama untuk setiap jenis masalah. Renungkan baik-baik, karena memahami ini menjadi kunci untuk menyelesaikan masalah apa pun.
Petunjuk baru lagi, meskipun zaman sudah berkembang dan kompleksitas kehidupan manusia juga terus berganti, namun hal tunggal ini senantiasa menjadi awal dan akhir setiap masalah, tanpa kecuali, dan ada sejak awal sejarah manusia hingga sekarang.
Bisakah kamu menemukannya? Jawabannya adalah PERUBAHAN. Setiap masalah yang lahir, selalu diawali dengan ‘kondisi yang dapat diterima’ yang tiba-tiba atau berangsur-angsur BERUBAH menjadi ‘kondisi yang tidak dapat diterima’. Setiap selesainya atau tuntasnya suatu masalah, selalui ditandai dengan pergerakan dari ‘kondisi yang tidak dapat diterima’ menjadi ‘kondisi yang dapat diterima’. Dengan kata lain, siklus hidup selalu berputar antara ; (1) kondisi MENERIMA kenyataan, (2) terjadi PERUBAHAN, (3) kondisi TIDAK MENERIMA kenyataan, (4) terjadi PERUBAHAN, (5) kondisi MENERIMA kenyataan, (6) terjadi PERUBAHAN, dan seterusnya berulang hingga kehidupan ini usai. Kisah, situasi, peristiwa dan pemerannya bisa berganti 1007 kali, namun siklus ini akan tetap berulang terus-menerus.
Dalam siklus yang saya ceritakan, tidak sulit untuk memahami bahwa hidup ini adalah seperti dansa yang silih berganti antara perubahan dan penerimaan. Di dalam dansa abadi ini, terseliplah pengalaman rasa yang kita sebut dengan stres, sedih, susah, bahagia, lega, khawatir, takut, cemas, tenang, damai, dll.
Pertama, marilah kita melihat mitra abadi yang bernama ‘perubahan’. Perubahan adalah bagian paling alami dalam hidup. Ada datang, ada pergi. Ada untung, ada sial. Ada pertemuan, ada perpisahan. Ada sehat, ada sakit. Ada senang, ada sedih. Ada lega, ada beban. Ada hidup, ada mati. Tidak ada satu orang pun, termasuk orang suci sekali pun, yang bisa terbebas dari dualitas ini.
Memang sangat wajar jika kita ingin menumpuk sehat, senang, untung, dan ingin menapik sakit, sedih dan sial. Tetapi kebijaksanaan jiwa sejati hanya bisa tumbuh ketika kita mengerti dan menerima bahwa kedua sisi tersebut pasti akan hadir, tidak bisa dicegah, tidak bisa dipertahankan, karena kekuatan ‘perubahan’ akan selalu mengayunkan nasib kita dari satu sisi ke sisi lainnya bagai bandul kehidupan.
Seperti pepatah yang mengatakan – ‘satu-satunya yang pasti dalam hidup adalah perubahan’, maka kalau kita ingin lebih mengalir dalam hidup, kuncinya adalah MENERIMA bahwa perubahan itu selalu ada, dan perubahan tersebut bisa saja berubah ke arah mana pun dan kapan pun juga. Semakin cepat kita mengerti dan menerima ini, maka semakin mudah kita ‘mengalir’ dengan hidup.
Ketika kita mengerti bahwa perubahan tidak bisa kita atur atau dikendalikan untuk menyelesaikan masalah sesuai dengan kehendak dan kepentingan kita, maka kita mulai memikirkan bagaimana jalan keluar dari masalah. Jalan ‘keluar’nya adalah melangkah ‘kedalam’. Situasi di luar tidak selalu bisa kita kendalikan, namun menerima dan tidak menerima adalah sebuah pilihan yang kita semua miliki. Memang benar bahwa menerima tidak selalu mudah, namun merupakan jalan keluar yang selalu realistis.
Kalau sudah tiba pada kesimpulan bahwa hidup ini adalah pilihan antara menerima atau tidak menerima, pertanyaan alamiah selanjutnya adalah apakah usaha masih diperlukan dalam hidup?
Di satu sisi, kita punya ‘sistem keyakinan’ yang menyatakan bahwa tidak mungkin kita bisa memperoleh apa yang kita inginkan, atau mengatasi suatu masalah, atau mengubah keadaan kalau tidak berusaha dan berupaya. Namun kita juga punya bukti nyata bahwa terkadang usaha pun tidak membawa perubahan hasil dan kenyataan.
Di lain sisi, ada juga keyakinan bahwa takdir, kehendak Tuhan serta karma lah yang menentukan kenyataan. Jadi meskipun kita berusaha, namun hasilnya tidak tergantung dari usaha tersebut semata. Sehingga terkadang lahirlah sikap hidup yang pasrah total sekaligus meniadakan usaha.
Terus terang, saya tidak anti pada konsep usaha dan upaya. Tapi saya juga merasa kadang usaha, apalagi sampai ngoyo, yang tidak diimbangi dengan keikhlasan dan kepasrahan, seringkali membawa rasa frustasi dan kekecewaan.
Jalan keluar yang paling lazim kita tempuh ketika ingin mengubah kenyataan atau menyelesaikan suatu masalah adalah pertama-tama berusaha semaksimal mungkin untuk menciptakan perubahan situasi dan pada akhirnya menerima hasil akhirnya, baik menerima dengan ikhlas maupun terpaksa.
Tetapi mengingat bahwa kenyataan tidak semata-mata tergantung pada usaha kita, ada jalan lain yang tidak selalu lazim. Inilah jalan yang saya sebut ABC, Acceptance Before Change.
Jalan ini adalah ketika kita bisa mengerti bahwa perubahan pasti terjadi, dengan maupun tanpa usaha. Langka pertamanya, menerima tanpa syarat apa pun kenyataan yang ada saat ini, apa pun perilaku dan sikap orang yang terlibat saat ini, serta apa pun pikiran dan perasaan kita saat ini. That’s the point. Apa pun perubahan yang hadir setelah kita sudah bisa menerima, jauh lebih mudah untuk menyambutnya dengan pikiran jernih dan hati yang lapang.
Saya harus mengakui bahwa ini bukan jalan pikiran yang umum. Tapi bagi mereka yang sudah pernah mengalami dalam hidupnya, mereka juga pernah menyaksikan betapa ajaibnya situasi bisa berubah, ketika masalah yang sedang dihadapi diterima sepenuh hati.
Barangkali pikiran terakhir yang saya sadari tentang betapa pentingnya kita menerima segala sesuatu yang ada saat ini, sebelum perubahan bisa terjadi adalah berikut ini; jika kita mencoba untuk mengubah diri, masalah maupun situasi melalui berbagai daya upaya, tanpa kita terlebih dahulu menerima diri sendiri apa adanya, maka meskipun situasi tersebut berhasil kita ubah, kita tidak akan pernah puas dan bahagia.
Dulu saya berpikir bahwa kebahagiaan adalah mendapatkan apa yang saya inginkan. Tetapi sekarang saya melihat bahwa kebahagiaan adalah ketika tidak ada perselisihan antara keinginan dan kenyataan. Oleh karena kenyataan tidak bisa saya kendalikan sepenuhnya, maka mengelola keinginan menjadi kunci saya untuk bahagia. Dan kunci tersebut bernama ‘menerima sepenuh hati’.
Pilihan dan upaya tidak menghasilkan kenyataan hidup saat ini. Pilihan dan upaya adalah ‘permainan’ yang kita perlu lakukan untuk tiba pada kesiapan untuk menerima dan berserah total pada hidup, takdir dan Tuhan.
Selamat bermain, para sahabatku