Lelaki yang Terindah (5)

Waktu mengubah segala-galanya tanpa pandang bulu. Para kekasih telah meninggalkan aku. Aku telah berpisah dengan lelaki maupun wanita itu. Dengan hati yang patah, perasaan kosong dan kelabu, kusurukkan diriku dalam beban kerja yang mengalir seperti tiada habis-habisnya. Kuhabiskan hari-hariku dengan ketegangan di bursa saham dan kasino gelap, maupun negosiasi bisnis di resto-resto mahal yang gemerlap. Kadang-kadang kujumpai seorang wanita yang mengajak kencan ke disko atau hotel berbintang. Tapi, semua itu segera terasa membosankan. Aku telah membeli semua impian kenikmatan yang ditawarkan kota besar, namun aku tetap saja merasa hidupku cuma begini-begini saja – tawar, hambar, dan tanpa kejutan.
Sesekali aku masih teringat kepada lelaki yang terindah itu. Ternyata aku tidak pernah benar-benar bisa melupakannya. Dari radio di mobilku, mengalun sepotong lagu.
Maafkanlah daku,
Lupakanlah kita pernah saling cinta…
Kupikir aku tidak usah benar-benar melupakannya. Biarlah sesekali aku teringat padanya. Bagiku ia tetap saja seorang lelaki terindah di dunia. Kupikir, kita tak perlu melupakan siapa pun yang pernah kita cintai.
Kira-kira setahun setelah mendengar lagu itu, kudengar lelaki terindah itu bunuh diri, menembak kemaluannya sendiri.
Aku harus mencari seorang kawan, seorang sahabat. Aku ingin membuat pengakuan atas semua dosa-dosa, yang telah dan akan aku lakukan.

Lelaki yang Terindah (4)

“Aku mencium bau wanita pada dirimu, kekasihku”.
Mampus! Padahal aku sudah mandi. Memang, mandinya masih bersama-sama wanita itu, tapi bau macam apa yang bisa tertinggal sesudah mandi?
Ia seperti bisa membaca pikiranku.
“Aku tak usah mencium apa-apa dari tubuhmu. Kamu tidak mengatakan apa-apa, namun matamu mengatakan semuanya, kekasihku. Aku tahu kamu sedang jatuh cinta. Kamu terlibat dengan seorang wanita”.
Aku mencari-cari alasan.
“Diam kamu! Dasar laki-laki mata keranjang! Laki-laki memang tidak pernah bisa dipercaya! Apa kamu pikir tidak ada seorang pun melihatmu waktu keluar dari motel itu? Apa kamu pikir tidak ada yang mengenali kamu, waktu kamu menjemputnya di airport? Pakai peluk-pelukan lagi! Pakai cium-cium segala! Kamu pikir tidak ada yang melihat waktu wanita itu merebahkan dirinya di pangkuan kamu dalam mobil? Kamu pengkhianat!”
Dalam sekejap, rumah kami sudah hancur lebur. Guci dan piring-piring porselen Dinasti Ming, lukisan Hendra Gunawan, patung kepala kuda, kursi rotan bertenun ikat, keramik Kasongan, tikar Dayak Punan, lampion Jepang, peti bajak laut bikinan Ciputat, komputer, dan vcd player segera menjadi sampah. Ia mengamuk seperti orang gila. Diambilnya pedang samurai yang terpajang di ruang tamu.
“Kupotong barangmu!”
Ia mengejarku sambil mengayun-ayunkan samurai itu seperti ninja. Aku melindungi diriku dengan apa yang bisa kuraih. Kusambar perisai Asmat, tapi segera patah menjadi dua. Kuraih tombak Kraton Yogyakarta, namun rupanya pemuda lembut ini besar juga tenaganya. Dicongkelnya tombak itu sampai terpental. Ia ayunkan samurai itu seperti galah pengering. Putuslah dasiku dibuatnya. Aku melompati kursi, melejit ke atas meja, dan lari ke dapur. Keadaannya benar-benar sudah berantakan.
“Kamu pikir aku tidak punya perasaan? Kamu pikir orang seperti aku ini bukan manusia? Kamu semakin mengesahkan keberadaan diriku sebagai bahan olok-olokan. Tega benar kamu mengkhianati aku, kekasihku, tega benar kamu!”
Ujung pedang itu tiba-tiba saja sudah menempel di bawah daguku. Aku sudah terpojok, kurasakan ketajaman samurai itu seperti pisau silet.
“Aku akan membunuhmu”, katanya, “setelah itu kubunuh pacarmu”.
Aku merayapi dinding, tapi ia lantas menggiringku, aku mundur sampai memasuki kamar mandi. Ia mendorongku dan aku jatuh di bath tub. Astaga! Apakah ia benar-benar akan memotong kemaluanku? Ia menyabetkan samurainya. Tapi, seinci sebelum mengenai dadaku, dihentikannya.
Aku menahan nafas. Ujung samurai itu disentuhkannya merayapi dada, ke bawah, melewati perut, dan berhenti di bawah ikat pinggang.
Air matanya sudah tumpah ruah.
“Buka”, katanya.
Aku mencoba mengulur waktu.
“Buka!”
Dengan pasrah kubuka. Aku berdoa supaya ia tidak benar-benar akan melakukannya. Bukankah aku masih kekasihnya?
Setelah kubuka, air matanya semakin deras mengalir. Tangannya bergetar ketika ia menyenggol-nyenggolnya dengan samurai itu. Rasanya lebih mengerikan daripada saat-saat akan disunat.
Ia mencoba tersenyum.
“Kekasihku, kekasihku”, katanya, “aku benar-benar ingin memotongnya, memasukkannya ke air keras, lalu kupajang di ruang tamu”.
Tapi, samurai itu lantas dibuangnya. Bunyinya berdenting di lantai kamar mandi. Lalu, diterkamnya diriku di dalam bath tub. Diperkosanya diriku diiringi tangisan membahana. Aku lega, dengan sangat menderita, namun aku sudah tidak bisa muntah lagi. Kuterima ciumannya dengan terpaksa, sambil mengucapkan selamat tinggal dalam hati.
Ia terus merangsekku sambil berdesah.
“Kenapa kau khianati aku, kenapa kau khianati aku…..”

Lelaki yang Terindah (3)

Dari balik jendela sebuah restoran, kupandang Jakarta yang tenggelam dalam malam. Dari lantai 30 saja manusia sudah kecil seperti itu, seperti tidak ada artinya. Bagaimana kalau memandangnya dari bulan? Ah, apakah hidup manusia memang harus ada artinya? Dari balik jendela restoran, aku memandang kehidupan yang fana – tidak kekal dan tidak abadi. Lantas, apakah artinya semua kerja keras itu? Masih adakah artinya segala ketegangan, pertarungan antara hidup dan mati itu?
Tapi, hidup di dunia ini barangkali juga sebuah liburan. Kehidupan yang abadi, bukankah itu sangat membosankan? Dari balik jendela restoran, sembari memandang Jakarta digerayangi malam, aku menyadari kesempatanku.
“Hidup itu cuma mampir minum”, kata orang-orang tua.
Baiklah, aku akan minum, lantas jalan-jalan sebentar, sebelum kembali ke alam kehidupan yang abadi di mana aku belum tahu bisa berbuat apa.
Dari balik restoran, aku bertanya pada Tuhan, apakah di surga atau neraka ada bir?
Aku memang sedang minum bir. Barangkali kalau aku punya anak kelak, akan aku katakan kepadanya, “Hidup itu cuma mampir minum bir”. Barangkali akan kutambahkan lagi sebuah kalimat, “Karena itu, bersyukurlah. Karena yang diminum sebentar itu bir, maka artinya hidup ini lumayan juga”.
Setidaknya memang lumayan untuk menunggu.
Sambil menunggu, aku melamunkan sebuah cerita :
Pada suatu hari, yang biasa-biasa saja, seorang lelaki yang sudah biasa bercinta dengan sesama lelaki, melihat seorang lelaki yang belum pernah bercinta dengan sesama lelaki. Memandangnya selintas saja, ia tahu bahwa lelaki itu menyembunyikan segenap kelemahan yang dimilikinya dengan penampilan yang garang. Aku akan menggagahimu, pikirnya, aku akan menggagahi kamu.
Ia melihat lelaki itu memasuki salon. Bahasa tubuhnya yang angkuh membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama.
Sudah begitu banyak lelaki membuatnya jatuh cinta, tapi tak ada yang membuatnya tergila-gila seperti yang satu ini. Ketika ia beranjak mendekatinya, lelaki itu menolak. “Saya minta wanita”, katanya. Terlalu! Akan kubuat dia mengakui, percintaan sesama lelaki itu lebih indah dibanding dengan wanita, pikirnya, akan kubikin dia tahu rasa.
Pada suatu hari yang lain, lelaki itu sudah menjadi pacarnya. Pacar yang tak kunjung habis digila-gilainya. “Jangan engkau meninggalkan aku, kekasihku”, ujarnya selalu pada lelaki itu. Memang, lelaki itu telah mengakui keindahan cinta yang bisa diberikan seorang lelaki kepada lelaki lainnya. Telah dipersembahkannya segenap seluk-beluk permainan cinta di atas ranjang yang paling mungkin dilakukan seorang lelaki kepada seorang lelaki lain, supaya lelaki itu terikat padanya, tak tertarik lagi kepada wanita maupun lelaki lain. Tapi, ia selalu takut lelaki itu akan meninggalkannya, seperti entah berapa lelaki yang telah melewati kehidupannya.
Apa yang ditakutkan, kemudian memang terjadi. Lelaki itu berkata kepadanya, “Kita tidak bisa terus-menerus seperti ini”. Alangkah sedih hatinya. Telah diberikannya seluruh dirinya kepada lelaki itu, ternyata masih kurang juga. Apakah lelaki memang diciptakan untuk wanita? Aku tidak akan melepaskan kamu, kekasihku, pikirnya, aku tidak akan melepaskan kamu selama hayat masih dikandung badan.
Lelaki yang selalu bercinta dengan sesama lelaki itu sebetulnya sangat membenci pikirannya sendiri, tapi ia tidak bisa melepaskannya. Dalam hati ia telah berjanji, kalau pacarnya sampai berkhianat, dan bercinta dengan orang lain, lelaki maupun wanita, ia akan memotong kemaluan pacarnya itu dengan gunting!
Aduh! Perutku mual lagi. Lamunanku buyar. Yang kutunggu sudah datang. Parfumnya yang merangsang itu sudah lebih dulu mengabarkan kedatangannya.
“Sorry, terlambat. Jalanan macet. Sudah lama? Sorry, ya? Kamu marah?”
Sorry. Maaf. Forgive me, please. Eh, bukankah selalu tersedia maaf bagi seorang wanita cantik, bahkan sebelum dia membuat kesalahan apa pun? Kadang-kadang kupikir seorang wanita boleh membuat kesalahan apa saja, asal dia tetap kelihatan cantik dan jelita. Apalagi kalau panas dan membara. Sungguh pikiran yang keterlaluan! Maaf-maaf saja, bukankah banyak wanita sering kali diselamatkan atau dicelakakan hanya karena kewanitaannya?
Begitulah aku selalu, untuk kesekian kalinya jatuh ke dalam pelukan wanita. Api cinta membakar hatiku, seperti kebakaran yang dikobarkan Hanoman sewaktu membumihanguskan Alengka. Brengsek! Kenapa manusia harus mempunyai perasaan seperti itu? Cinta memghabiskan tenaga dan pikiran untuk perkara-perkara sepele, tetek bengek, dan tidak begitu berguna untuk orang lain, tapi siapakah yang bisa menghindarinya? Sungguh aku tak pernah punya firasat apa pun, bahwa suatu ketika dalam hidupku yang begini-begini saja, aku akan terlibat dalam cinta segi tiga dengan seorang wanita maupun pria.
Maka, kami pun bercinta dalam kealpaan semesta. Seorang wanita yang sungguh-sungguh betina menawarkan mulutnya yang lebar untuk permainan cinta yang paling sensual di atas ranjang. Lipsticknya yang berwarna merah darah berlepotan di seluruh tubuhku, dan wangi parfumnya yang merangsang itu meraga sukma dalam diriku. Busyet. Seorang wanita pun bisa menjadi begitu buas seperti singa. Sekian ratus seprei tercabik-cabik, sekian ratus kasur jebol, dan sekian ratus AC meledak karena tak kuasa mengatasi panasnya suhu percintaan kami. Sembari terengah-engah, ia berdeklamasi di telingaku : “Engkau cemburu. Engkau ganas. Mangsa aku dalam cakarmu. Bertukar tangkap dengan lepas”.
Setelah itu, ia meraung. Lantas, terbanting.
“Kita harus segera kawin”, ujar wanita itu, tiba-tiba sekali, sambil mengelap keringatnya dengan bantal.
Aku tercenung, menatap kami berdua yang terkapar pada cermin di langit-langit, dan merasa tua. Pernikahan. Perkawinan. Rumah tangga. Rasanya sampai kapan pun aku tak pernah siap untuk itu.
“Kita belum tentu bahagia kalau kawin”.
“Tapi, aku mulai bosan pacaran. Sudah berapa lama kita pacaran? Mau apa kita? Mau ke mana? Kamu mau kita begini-begini saja? Memangnya kamu anggap aku ini apa?”
Pertanyaan-pertanyaan klasik. Pertanyaan-pertanyaan klise. Pertanyaan-pertanyaan menjengkelkan. Pertanyaan-pertanyaan yang selalu sulit kujawab tanpa membuat seorang wanita tersinggung. Sampai sekarang aku selalu bertanya-tanya, apakah ada wanita yang bisa hidup tanpa mengangankan anak dan pernikahan, tanpa perasaan kesepian.
Terus terang, aku sendiri bosan dengan jawaban-jawaban klasik. Apakah aku harus meninggalkannya saja?
“Aku cinta padamu. Jangan tinggalkan aku. Aku tidak mau berpisah denganmu”.
“Kalau begitu kawinilah aku. Segera !”
Cinta, apa boleh buat, ternyata selalu klasik.

Lelaki yang Terindah (2)

Pada suatu malam jahanam yang lain, kami bersantai di sebuah vila, menghadap jendela yang terbuka. Aku terkapar di sofa, memandang kerlap-kerlip lampu di pegunungan. Kabut meredup cahaya. Ia duduk di lantai, menghitung bulu-bulu di betisku.
“Untuk apa kamu menghitung bulu-bulu di betisku? Tidak ada gunanya”.
“Jangan disela, nanti aku lupa. Aku bukan cuma ingin menghitung bulu-bulu di betismu, aku juga ingin tahu berapa helai jumlah bulu-bulu di seluruh tubuhmu”.
“Di seluruh tubuhku?”
“Ya, aku ingin tahu segala-galanya tentang dirimu”
“Kenapa?”
“Supaya aku lebih mengenal kamu. Bukankah aku harus memahami kamu, kekasihku?”
Kabut mengembun pada jendela. Bersamanya, aku masih selalu berada di suatu tempat entah di mana. Aku tak kunjung terbiasa. Perutku masih selalu seperti mual.
Kulihat wajahnya, tatapannya, masih penuh dengan cinta, penuh dengan pengabdian seperti seorang isteri yang betul-betul setia. Ia telah membuka dasiku, membuka sepatuku, membuka kaus kakiku, dan akhirnya memandikan aku. Hari-hari yang kulewatkan bersamanya adalah hari-hari serba bersih, terawat dan berselera. Hari-hari yang begitu mengkilap, seperti dicuci dengan deterjen. Ia mengurusku, dari kepala sampai ke ujung kaki.
“Sampai kapan kita akan begini?”, tanyaku, sementara angin malam yang basah lewat tanpa permisi.
Ia masih menghitung bulu-bulu itu, entah bagaimana caranya. Kulihat wajahnya jadi tegang, tapi ia berusaha mengatasinya. Aku pun menegaskan apa yang ingin ku katakan padanya.
“Kita tidak bisa terus-terusan seperti ini”.
Ia menatapku, mengelus dahiku.
“Adakah yang kurang dariku, kekasihku?”
“Tidak ada, engkau mengurus aku dengan penuh cinta, lebih dari seorang wanita”.
“Jadi, kenapa? Apakah ada sesuatu yang salah pada diriku? Katakanlah terus terang, nanti kuperbaiki kesalahanku”.
“Tidak ada yang salah pada dirimu. Tidak ada yang kurang”.
“Jadi kenapa, dong? Katakanlah, kenapa kita tidak bisa selalu mesra dan aku bagimu indah?”
“Kita memang selalu dan akan tetap selalu mesra. Dan, jangan khawatir, bagiku kamu akan selalu indah. Tapi aku tak bisa terus-menerus seperti ini”.
“Tapi kenapa, kekasihku, kenapa? Kalau kita bisa bahagia, kenapa kamu harus tidak bisa?”
Aku ingin menjelaskan kepadanya, tapi aku tak punya kata-kata. Bahkan, kepada diriku pun aku sulit memberi pemahaman tentang diriku sendiri. Sungguh aku tak pernah mengerti apa yang terjadi dalam diriku. Barangkali ia lebih mengerti, namun sepertinya ia tidak perduli.
Tanpa melihatku ia berkata dengan perasaan tertahan.
“Janganlah kau tinggalkan aku, kekasihku. Jangan sekali-kali kau berpikir untuk meninggalkan aku”.
Ia tak lagi menghitung bulu-bulu di betisku, melainkan mengusap-usapnya.
“Jangan”, kataku, namun aku tetap saja menyerah dan tak berdaya. Sesigap ular sanca, segera dibelitnya aku, sampai lumat tanpa sisa. Lidahnya membuat diriku mendaki pelangi. Bahkan dengan wanita tak kudapatkan kenikmatan seperti ini.

Lelaki yang Terindah (1)

Suatu ketika dalam hidupku yang cuma begini-begini saja, aku menjumpai seorang lelaki yang terindah di dunia. Aku tak pernah bermimpi, betapa dalam hidupku yang tawar, hambar dan nyaris tanpa kejutan, suatu ketika akan kualami percintaan yang begini rupa. Aku memang tak pernah sedikit pun menyangka, di dunia ini ada seorang lelaki seperti dia, yang wajahnya begitu cantik dan matanya bisa menatapku dengan penuh cinta.
Semua ini dimulai dari sebuah salon termahal di Jakarta, ketika aku duduk di kursi itu, siap digunting, dan menatap ke arah cermin. Kulihat dia siap menggarap rambutku yang basah, tapi kulambaikan tanganku menolaknya.
“Saya minta wanita”, kataku. Dan kulihat wajahnya dari cermin begitu kecewa.
Mestinya aku tak usah peduli tentang wajahnya yang begitu kecewa di cermin itu. Namun, kenyataannya tidak begitu. Aku tak pernah bisa mengerti kenapa wajah itu terus-menerus terbayang olehku. Sampai berhari-hari kemudian setelah peristiwa itu wajahnya masih terbayang-bayang, dan setiap kali menyadarinya aku serasa mau muntah. Meskipun aku seorang lelaki, setiap kali terbayang wajahnya, semakin kusadari betapa cantiknya wajah itu, dan betapa ia memandangku dengan penuh cinta.
Celaka. Aku merasa terganggu dan tidak bisa tidur. Celaka. Aku merasa tersentuh dan terpesona. Celaka!
Debu cinta bertebaran. Ini seperti judul sebuah novel. Debu cinta bertebaran seperti virus – kurang sehat sedikit, kita pun jadi korban. Begitulah aku selalu, terbakar dari cinta yang satu ke cinta yang lain. Sampai hatiku jadi gosong, tak tahu lagi apa artinya cinta. Wanita memberikan segala keindahan yang dimilikinya demi cinta, sampai mereka tidak punya apa-apa lagi. Toh, aku selalu mengagumi wanita. Aku tidak malu untuk mengakui, aku sangat mengagumi wanita karena kewanitaannya, apa pun bentuknya. Apa boleh buat. Tuhan telah menciptakan wanita…
Tapi, kini aku berurusan dengan lelaki. Seorang lelaki terindah di dunia. Telah beratus-ratus bahkan beribu-ribu lelaki lewat di depan mataku, namun aku tak pernah berpikir untuk mempertimbangkan keindahannya. Tentu aku tahu, seorang lelaki bisa menjadi indah, bagi seorang lelaki sekalipun. Namun, aku tak pernah sekejap pun berpikir bahwa ada seorang lelaki di dunia ini yang akan menatapku dengan pandangan penuh cinta dan kecewa – seperti biasa kulihat pada wanita. Betapa sebuah pandangan bisa begitu menggoda!
“Dulu, kenapa kamu memandangku seperti itu?”, tanyaku.
“Aku tidak tahu, kenapa aku memandangmu seperti itu. Hal seperti itu bahkan tak kualami dengan pacarku. Apakah itu yang disebut cinta pada pandangan pertama?”
“Entahlah. Apa yang akan kamu lakukan kalau aku tidak menolakmu?”
“Aku akan menggarap telingamu. Begitu kamu masuk aku sudah tahu kelemahanmu. Akan kuelus-elus telingamu, dan kamu akan memejamkan mata, dan aku akan membungkuk dan berbisik, mengatakan aku terangsang padamu”.
“Hah?”
“Aku juga mau bilang, aku akan memuaskan kamu. Apakah kamu masih akan menolak jika aku melakukannya?”
“Entahlah”
“Yang jelas, aku tahu kamu akan terangsang, seperti sekarang!”
Dan tangannya bergerak membuka ikat pinggangku.
Aku telah diseretnya ke dalam suatu petualangan di negeri antah-berantah. Keringat di tubuhnya yang tembaga, berkilat dalam cahaya malam, membuatnya seperti sebuah patung pualam. Pada malam yang sungguh-sungguh jahanam itu, ia telusuri segenap lekuk tubuhku dan kutelusuri segenap lekuk tubuhnya. Begitulah aku digulungnya, seperti gelombang laut menyerbu daratan.
Ia begitu lembut, memberi dan menanggapi. Ia begitu perkasa, terampil, dan penuh improvisasi. Setelah semuanya selesai, aku muntah-muntah.