Lelaki yang Terindah (2)

Pada suatu malam jahanam yang lain, kami bersantai di sebuah vila, menghadap jendela yang terbuka. Aku terkapar di sofa, memandang kerlap-kerlip lampu di pegunungan. Kabut meredup cahaya. Ia duduk di lantai, menghitung bulu-bulu di betisku.
“Untuk apa kamu menghitung bulu-bulu di betisku? Tidak ada gunanya”.
“Jangan disela, nanti aku lupa. Aku bukan cuma ingin menghitung bulu-bulu di betismu, aku juga ingin tahu berapa helai jumlah bulu-bulu di seluruh tubuhmu”.
“Di seluruh tubuhku?”
“Ya, aku ingin tahu segala-galanya tentang dirimu”
“Kenapa?”
“Supaya aku lebih mengenal kamu. Bukankah aku harus memahami kamu, kekasihku?”
Kabut mengembun pada jendela. Bersamanya, aku masih selalu berada di suatu tempat entah di mana. Aku tak kunjung terbiasa. Perutku masih selalu seperti mual.
Kulihat wajahnya, tatapannya, masih penuh dengan cinta, penuh dengan pengabdian seperti seorang isteri yang betul-betul setia. Ia telah membuka dasiku, membuka sepatuku, membuka kaus kakiku, dan akhirnya memandikan aku. Hari-hari yang kulewatkan bersamanya adalah hari-hari serba bersih, terawat dan berselera. Hari-hari yang begitu mengkilap, seperti dicuci dengan deterjen. Ia mengurusku, dari kepala sampai ke ujung kaki.
“Sampai kapan kita akan begini?”, tanyaku, sementara angin malam yang basah lewat tanpa permisi.
Ia masih menghitung bulu-bulu itu, entah bagaimana caranya. Kulihat wajahnya jadi tegang, tapi ia berusaha mengatasinya. Aku pun menegaskan apa yang ingin ku katakan padanya.
“Kita tidak bisa terus-terusan seperti ini”.
Ia menatapku, mengelus dahiku.
“Adakah yang kurang dariku, kekasihku?”
“Tidak ada, engkau mengurus aku dengan penuh cinta, lebih dari seorang wanita”.
“Jadi, kenapa? Apakah ada sesuatu yang salah pada diriku? Katakanlah terus terang, nanti kuperbaiki kesalahanku”.
“Tidak ada yang salah pada dirimu. Tidak ada yang kurang”.
“Jadi kenapa, dong? Katakanlah, kenapa kita tidak bisa selalu mesra dan aku bagimu indah?”
“Kita memang selalu dan akan tetap selalu mesra. Dan, jangan khawatir, bagiku kamu akan selalu indah. Tapi aku tak bisa terus-menerus seperti ini”.
“Tapi kenapa, kekasihku, kenapa? Kalau kita bisa bahagia, kenapa kamu harus tidak bisa?”
Aku ingin menjelaskan kepadanya, tapi aku tak punya kata-kata. Bahkan, kepada diriku pun aku sulit memberi pemahaman tentang diriku sendiri. Sungguh aku tak pernah mengerti apa yang terjadi dalam diriku. Barangkali ia lebih mengerti, namun sepertinya ia tidak perduli.
Tanpa melihatku ia berkata dengan perasaan tertahan.
“Janganlah kau tinggalkan aku, kekasihku. Jangan sekali-kali kau berpikir untuk meninggalkan aku”.
Ia tak lagi menghitung bulu-bulu di betisku, melainkan mengusap-usapnya.
“Jangan”, kataku, namun aku tetap saja menyerah dan tak berdaya. Sesigap ular sanca, segera dibelitnya aku, sampai lumat tanpa sisa. Lidahnya membuat diriku mendaki pelangi. Bahkan dengan wanita tak kudapatkan kenikmatan seperti ini.

0 comments: