Lelaki yang Terindah (3)
Dari balik jendela sebuah restoran, kupandang Jakarta yang tenggelam dalam malam. Dari lantai 30 saja manusia sudah kecil seperti itu, seperti tidak ada artinya. Bagaimana kalau memandangnya dari bulan? Ah, apakah hidup manusia memang harus ada artinya? Dari balik jendela restoran, aku memandang kehidupan yang fana – tidak kekal dan tidak abadi. Lantas, apakah artinya semua kerja keras itu? Masih adakah artinya segala ketegangan, pertarungan antara hidup dan mati itu?
Tapi, hidup di dunia ini barangkali juga sebuah liburan. Kehidupan yang abadi, bukankah itu sangat membosankan? Dari balik jendela restoran, sembari memandang Jakarta digerayangi malam, aku menyadari kesempatanku.
“Hidup itu cuma mampir minum”, kata orang-orang tua.
Baiklah, aku akan minum, lantas jalan-jalan sebentar, sebelum kembali ke alam kehidupan yang abadi di mana aku belum tahu bisa berbuat apa.
Baiklah, aku akan minum, lantas jalan-jalan sebentar, sebelum kembali ke alam kehidupan yang abadi di mana aku belum tahu bisa berbuat apa.
Dari balik restoran, aku bertanya pada Tuhan, apakah di surga atau neraka ada bir?
Aku memang sedang minum bir. Barangkali kalau aku punya anak kelak, akan aku katakan kepadanya, “Hidup itu cuma mampir minum bir”. Barangkali akan kutambahkan lagi sebuah kalimat, “Karena itu, bersyukurlah. Karena yang diminum sebentar itu bir, maka artinya hidup ini lumayan juga”.
Aku memang sedang minum bir. Barangkali kalau aku punya anak kelak, akan aku katakan kepadanya, “Hidup itu cuma mampir minum bir”. Barangkali akan kutambahkan lagi sebuah kalimat, “Karena itu, bersyukurlah. Karena yang diminum sebentar itu bir, maka artinya hidup ini lumayan juga”.
Setidaknya memang lumayan untuk menunggu.
Sambil menunggu, aku melamunkan sebuah cerita :
Sambil menunggu, aku melamunkan sebuah cerita :
Pada suatu hari, yang biasa-biasa saja, seorang lelaki yang sudah biasa bercinta dengan sesama lelaki, melihat seorang lelaki yang belum pernah bercinta dengan sesama lelaki. Memandangnya selintas saja, ia tahu bahwa lelaki itu menyembunyikan segenap kelemahan yang dimilikinya dengan penampilan yang garang. Aku akan menggagahimu, pikirnya, aku akan menggagahi kamu.
Ia melihat lelaki itu memasuki salon. Bahasa tubuhnya yang angkuh membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama.
Sudah begitu banyak lelaki membuatnya jatuh cinta, tapi tak ada yang membuatnya tergila-gila seperti yang satu ini. Ketika ia beranjak mendekatinya, lelaki itu menolak. “Saya minta wanita”, katanya. Terlalu! Akan kubuat dia mengakui, percintaan sesama lelaki itu lebih indah dibanding dengan wanita, pikirnya, akan kubikin dia tahu rasa.
Pada suatu hari yang lain, lelaki itu sudah menjadi pacarnya. Pacar yang tak kunjung habis digila-gilainya. “Jangan engkau meninggalkan aku, kekasihku”, ujarnya selalu pada lelaki itu. Memang, lelaki itu telah mengakui keindahan cinta yang bisa diberikan seorang lelaki kepada lelaki lainnya. Telah dipersembahkannya segenap seluk-beluk permainan cinta di atas ranjang yang paling mungkin dilakukan seorang lelaki kepada seorang lelaki lain, supaya lelaki itu terikat padanya, tak tertarik lagi kepada wanita maupun lelaki lain. Tapi, ia selalu takut lelaki itu akan meninggalkannya, seperti entah berapa lelaki yang telah melewati kehidupannya.
Apa yang ditakutkan, kemudian memang terjadi. Lelaki itu berkata kepadanya, “Kita tidak bisa terus-menerus seperti ini”. Alangkah sedih hatinya. Telah diberikannya seluruh dirinya kepada lelaki itu, ternyata masih kurang juga. Apakah lelaki memang diciptakan untuk wanita? Aku tidak akan melepaskan kamu, kekasihku, pikirnya, aku tidak akan melepaskan kamu selama hayat masih dikandung badan.
Lelaki yang selalu bercinta dengan sesama lelaki itu sebetulnya sangat membenci pikirannya sendiri, tapi ia tidak bisa melepaskannya. Dalam hati ia telah berjanji, kalau pacarnya sampai berkhianat, dan bercinta dengan orang lain, lelaki maupun wanita, ia akan memotong kemaluan pacarnya itu dengan gunting!
Ia melihat lelaki itu memasuki salon. Bahasa tubuhnya yang angkuh membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama.
Sudah begitu banyak lelaki membuatnya jatuh cinta, tapi tak ada yang membuatnya tergila-gila seperti yang satu ini. Ketika ia beranjak mendekatinya, lelaki itu menolak. “Saya minta wanita”, katanya. Terlalu! Akan kubuat dia mengakui, percintaan sesama lelaki itu lebih indah dibanding dengan wanita, pikirnya, akan kubikin dia tahu rasa.
Pada suatu hari yang lain, lelaki itu sudah menjadi pacarnya. Pacar yang tak kunjung habis digila-gilainya. “Jangan engkau meninggalkan aku, kekasihku”, ujarnya selalu pada lelaki itu. Memang, lelaki itu telah mengakui keindahan cinta yang bisa diberikan seorang lelaki kepada lelaki lainnya. Telah dipersembahkannya segenap seluk-beluk permainan cinta di atas ranjang yang paling mungkin dilakukan seorang lelaki kepada seorang lelaki lain, supaya lelaki itu terikat padanya, tak tertarik lagi kepada wanita maupun lelaki lain. Tapi, ia selalu takut lelaki itu akan meninggalkannya, seperti entah berapa lelaki yang telah melewati kehidupannya.
Apa yang ditakutkan, kemudian memang terjadi. Lelaki itu berkata kepadanya, “Kita tidak bisa terus-menerus seperti ini”. Alangkah sedih hatinya. Telah diberikannya seluruh dirinya kepada lelaki itu, ternyata masih kurang juga. Apakah lelaki memang diciptakan untuk wanita? Aku tidak akan melepaskan kamu, kekasihku, pikirnya, aku tidak akan melepaskan kamu selama hayat masih dikandung badan.
Lelaki yang selalu bercinta dengan sesama lelaki itu sebetulnya sangat membenci pikirannya sendiri, tapi ia tidak bisa melepaskannya. Dalam hati ia telah berjanji, kalau pacarnya sampai berkhianat, dan bercinta dengan orang lain, lelaki maupun wanita, ia akan memotong kemaluan pacarnya itu dengan gunting!
Aduh! Perutku mual lagi. Lamunanku buyar. Yang kutunggu sudah datang. Parfumnya yang merangsang itu sudah lebih dulu mengabarkan kedatangannya.
“Sorry, terlambat. Jalanan macet. Sudah lama? Sorry, ya? Kamu marah?”
Sorry. Maaf. Forgive me, please. Eh, bukankah selalu tersedia maaf bagi seorang wanita cantik, bahkan sebelum dia membuat kesalahan apa pun? Kadang-kadang kupikir seorang wanita boleh membuat kesalahan apa saja, asal dia tetap kelihatan cantik dan jelita. Apalagi kalau panas dan membara. Sungguh pikiran yang keterlaluan! Maaf-maaf saja, bukankah banyak wanita sering kali diselamatkan atau dicelakakan hanya karena kewanitaannya?
Begitulah aku selalu, untuk kesekian kalinya jatuh ke dalam pelukan wanita. Api cinta membakar hatiku, seperti kebakaran yang dikobarkan Hanoman sewaktu membumihanguskan Alengka. Brengsek! Kenapa manusia harus mempunyai perasaan seperti itu? Cinta memghabiskan tenaga dan pikiran untuk perkara-perkara sepele, tetek bengek, dan tidak begitu berguna untuk orang lain, tapi siapakah yang bisa menghindarinya? Sungguh aku tak pernah punya firasat apa pun, bahwa suatu ketika dalam hidupku yang begini-begini saja, aku akan terlibat dalam cinta segi tiga dengan seorang wanita maupun pria.
Maka, kami pun bercinta dalam kealpaan semesta. Seorang wanita yang sungguh-sungguh betina menawarkan mulutnya yang lebar untuk permainan cinta yang paling sensual di atas ranjang. Lipsticknya yang berwarna merah darah berlepotan di seluruh tubuhku, dan wangi parfumnya yang merangsang itu meraga sukma dalam diriku. Busyet. Seorang wanita pun bisa menjadi begitu buas seperti singa. Sekian ratus seprei tercabik-cabik, sekian ratus kasur jebol, dan sekian ratus AC meledak karena tak kuasa mengatasi panasnya suhu percintaan kami. Sembari terengah-engah, ia berdeklamasi di telingaku : “Engkau cemburu. Engkau ganas. Mangsa aku dalam cakarmu. Bertukar tangkap dengan lepas”.
Setelah itu, ia meraung. Lantas, terbanting.
“Kita harus segera kawin”, ujar wanita itu, tiba-tiba sekali, sambil mengelap keringatnya dengan bantal.
Aku tercenung, menatap kami berdua yang terkapar pada cermin di langit-langit, dan merasa tua. Pernikahan. Perkawinan. Rumah tangga. Rasanya sampai kapan pun aku tak pernah siap untuk itu.
“Kita belum tentu bahagia kalau kawin”.
“Tapi, aku mulai bosan pacaran. Sudah berapa lama kita pacaran? Mau apa kita? Mau ke mana? Kamu mau kita begini-begini saja? Memangnya kamu anggap aku ini apa?”
“Tapi, aku mulai bosan pacaran. Sudah berapa lama kita pacaran? Mau apa kita? Mau ke mana? Kamu mau kita begini-begini saja? Memangnya kamu anggap aku ini apa?”
Pertanyaan-pertanyaan klasik. Pertanyaan-pertanyaan klise. Pertanyaan-pertanyaan menjengkelkan. Pertanyaan-pertanyaan yang selalu sulit kujawab tanpa membuat seorang wanita tersinggung. Sampai sekarang aku selalu bertanya-tanya, apakah ada wanita yang bisa hidup tanpa mengangankan anak dan pernikahan, tanpa perasaan kesepian.
Terus terang, aku sendiri bosan dengan jawaban-jawaban klasik. Apakah aku harus meninggalkannya saja?
“Aku cinta padamu. Jangan tinggalkan aku. Aku tidak mau berpisah denganmu”.
“Kalau begitu kawinilah aku. Segera !”
“Kalau begitu kawinilah aku. Segera !”
Cinta, apa boleh buat, ternyata selalu klasik.
10/09/2007 09:42:00 AM
|
Labels:
shakespeare wanna be
|
This entry was posted on 10/09/2007 09:42:00 AM
and is filed under
shakespeare wanna be
.
You can follow any responses to this entry through
the RSS 2.0 feed.
You can leave a response,
or trackback from your own site.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment