TEGANGAN ANTARA BENTUK DAN ISI - Telaah Karya Sastra


Apa yang membuat sebuah tulisan berkarakter dan berbobot sastrawi, telah menjadi bahan perdebatan yang tak habis-habisnya. Karakter sastrawi itu konon terletak pada kedalaman emosi dan keunikan gagasan ungkapan pribadi (kaum ekspresionis), atau konon juga pada totalitas efek kesan yang ditampilkannya (kaum impresionis), atau pada apa yang di’representasi’kannya, misalnya, kelas sosial tertentu, kepentingan politik, kecenderungan kultural, dan sebagainya.
Kaum formalis Rusia lain lagi. Mereka melihat bobot sastrawi sebuah karya terutama pada kemampuan karya itu memperbaharui persepsi kita. Kemampuan itu terutama terletak pada ketidaklaziman atau siasat ‘defamiliarisasi’ yang dimainkan si penulis (Victor Shklozsky).
Keunikan perpaduan antar berbagai komponen dalam teks beserta permainan imaji yang tidak biasa, memungkinkan kita melihat realitas secara baru, memberikan sensasi dan visi baru (realitas biasanya kita persepsikan dengan pola rutin hingga kita kehilangan rasa dan makna tentangnya). Dalam kerangka itu segala unsur terkandung dalam ‘bentuk’ (form) sangatlah menentukan ‘isi’ maknawinya (content).
Keunikan isi sebuah karya sastra dibangun oleh komponen dan struktur intern ‘bentuk’nya (Roman Jakobson, Mukarovsky). Sayangnya, pendekatan kaum formalis macam ini kerap mudah terjebak dalam kegemaran memindai struktur dan pola-pola formal secara berlebihan dan kaku, hingga terasa mencari-cari dan memaksa.
Dalam sastra, kata-kata tidak berperan sebagai pembentuk pernyataan logis-kognitif, melainkan sebagai kuas untuk melukis, citra untuk merangsang imajinasi atau sensasi, permainan simbol yang menyeret kita masuk dan merasakan kompleksitas pengalaman. Itu pendapat kelompok New Criticism Amerika, yang saya kira penting. Dan ini agak paralel dengan arah kaum Post-strukturalis yang melihat kekuatan karya sastra dalam subversi logikanya, dalam percampuran kode semiotisnya yang tak terduga, dalam pergeseran-pergeseran makna yang dimainkannya lewat dialog, monolog atau narasi.
Dalam kerangka teoritis di atas masih bisa diperpanjang. Dan tentu ada seribu tujuh cara untuk membaca sebuah teks sastra. Masalahnya, kendati segala teori itu sangatlah membantu dalam memperlihatkan berbagai kemungkinan, aspek dan kekuatan sebuah teks, toh setiap karya sastra umumnya tampil dengan keunikan dan integritas sendiri. Sedemikian hingga setiap berhadapan dengan karya baru, selalu saja kita bagai berhadapan dengan sosok yang sama sekali asing, yang tak mudah dipahami lewat segala kategorisasi yang telah kita miliki.
Seperti dalam dunia seni umumnya, dalam dunia sastra pun semakin berbobot suatu karya biasanya justru semakin asing, semakin misterius dan tak terduga. Dan lantas cara paling realistis akhirnya adalah langsung saja menggauli karya itu tanpa banyak pretensi, dan lewat pembacaan kita, karya itu sedikit demi sedikit membukakan dirinya sendiri, menunjukan sendiri dimana kekuatan yang dimilikinya dan bagaimana sebaiknya ia dibaca.
Apa boleh buat, salah satu kekuatan utama karya seni memang adalah kebaruan, keunikan cara pengungkapan. Sedangkan isi substansi dunia manusia dari dulu hingga kini pada tingkat terdalam boleh jadi sebenarnya sama saja (itu sebabnya filsafat Yunani, atau inspirasi agama-agama besar dari ribuan tahun silam pun hingga kini tetap relevan, tak pernah kadaluwarsa).
Pemikiran dan inspirasi baru muncul kembali setiap kali hanya karena cara memperkatakannya yang berbeda, karena sudut pandang yang digunakan, karena imaji-imaji tak lazim yang dimainkannya. Imajinasi manusia yang teramat kaya setiap kali menemukan cara uniknya sendiri yang berbeda untuk mengungkapkan kebenaran terdalam yang sama, kebenaran yang mungkin abadi, kendati juga selalu tersembunyi.
Banyak cerpen yang keasyikan terhanyut dalam pergumulan konseptual sehingga pengemasan dalam bahasa dan pengorganisasian komponen-komponennya tak cukup tergarap. Akibatnya, cerpen-cerpen itu, kendati secara intelektual tampak cerdas dan sesekali mengejutkan, toh tidak sungguh menyengat perasaan, tidak menggelembungkan imajinasi ataupun menggedor kesadaran.
Kekuatan cerpen bisa diletakkan pada daya puitiknya. Puitik dalam artian : hemat, tepat dan dasyat. Artinya, kemampuan melahirkan sugesti dasyat lewat konstruksi linguistik singkat ; menimbulkan efek maksimal dengan upaya minimal. ‘Puitik’ bisa berarti pula melukiskan tanpa menjelaskan, atau juga cerdik membetot suatu fenomen ke ruang dalamnya yang paling pelik, dan sebaliknya, ke ruang luarnya yang paling kosmik, hanya dengan menggenjot efisiensi dan kekuatan kata. Cerpen bukanlah novel. Sifatnya yang pendek justru memaksa penulis untuk menimbulkan efek maksimal dengan cara minimal.
Puitik bersandar pada kecerdikan mengambil sudut pandang, menata alur, dan melukiskan interioritas dan suasana secara dasyat lewat bahasa sederhana, tanpa frasa keriting yang pelik, tanpa pelintiran kata yang mengada-ada. Puitik lantas adalah soal kecerdasan penggunaan tanpa batas sistem linguistik yang serba terbatas. Puitisasi bisa juga dilakukan dengan siasat surealis, yaitu meletakkan semua komponen pada latar situasi yang tak masuk akal, serupa alam impian. Keuntungan strategis macam ini adalah bahwa penulis mempunyai peluang lebih bebas untuk menciptakan suasana, alur, maupun karakter semaunya, tanpa terlampau terikat hukum logika.
Surealisme, seringkali berhadapan dengan resiko lazim. Penggunaan idiom-idiom yang agak kabur, dan gagasan yang sering samar terselimuti kalimat-kalimat liris indah yang kadang tak tentu arah. Surealisme baru bernilai manakala situasi bawah sadar maupun imajinasi memang dibebaskan sampai menemukan titik-titik artikulasi paling signifikan. Tetapi, kebebasan itu membawa resiko ketidakjelasan isi maupun bentuk formal. Memang dilematis.
Cerpen bisa pula memberi tekanan pada suasana yang bersifat impresionis : kelebatan-kelebatan kesan yang melayang, tetapi meninggalkan jejak-jejak misteri yang menawan dan mendalam.
Menulis cerpen tampaknya memang bisa lebih berat daripada menulis novel, sekurang-kurangnya dalam hal menyiasati berbagai komponen (alur, karakter, konflik, suspens, gagasan dan sebagainya) menjadi bentukan yang ringkas, padat, tepat dan berefek dasyat.

Aku dan Tengah Malam (2)

ini waktu yang sempurna
memaksa mata mencari cahaya
seandainya bisa melihat dunia lagi
geliat tubuh yang menang melawan dingin malam
menggerak jiwa untuk duduk sejenak
menyadari masih ada kehidupan di raga ini

ini waktu yang sempurna
kukatakan padamu sekali lagi
sentuhan air sejuk di permukaan kulit suci
membasuh titik-titik lapang untuk disucikan
tiga kali dan tiga kali

ini adalah waktu yang sempurna
katakan pada jiwaku yang berdebu ingin bersih
sedang ada lubang feronom dalam sukma yang menganga
memohon ditutup dengan ladang hijau firdaus
katakan pada Tuhan jika denting malam sunyi ini
ialah waktu yang tepat untuk bercengkerama

waktu yang sempurna, aku sedang curhat dengan Tuhan

kena sindrom

rrrhhggghhh...kenapa hari ini kena sindrom I hate monday lagi ?!

padahal minggu lalu abis gajian...
padahal ada lagu rap dari tapedeck Sony di ruangan ini...
padahal ada instrumen Kenny G dari speaker ruangan ini...
padahal ada teman-teman dengan joke lacurnya di ruangan ini...

rasanya mual
seperti mau muntah saja

Aku dan Tengah Malam

ini waktu yang sempurna
bulan meninggi dan kelamnya biru
tak sehitam tirai temaram jam yang lalu
mendadak sepi jadi pasar malam
meriuh riweh dalam sunyi
berlaksa benak di semburat remang

ini waktu yang sempurna
kukatakan padamu
waktu antara bayang lenyap dalam hitungan menit
dan gelisah malam kawin dengan remuk membisu dini hari

ini waktu yang sempurna
untuk mendengar celoteh-celoteh bisu di kota kesunyian
sapa dan dakwa memilah rasa di balai-balai sanubari
menyusur dinding-dinding yang kabur di terang hari
mengenali wajah anak-anak sendiri
mengantri membacakan isi hati di bawah selimut aksara

ini adalah waktu yang sempurna
dimana hanya impian yang luncurkan makna
dan aku bebas berkelana di pesisir kuantum awan-awan

waktu sempurna bumi dan aku berdenting resonan

Buku Sang Profesor

Ketika masuk ke kamar Bapak, tidak sengaja saya melihat sebuah buku yang pantas menjadi perhatian mata saya. Judulnya “Jejak Langkah Prof.Ir.H.Mahmud Hamundu, M.Sc – Antara Jalur Akademik dan Politik”. Yang saya tau dia adalah Rektor Universitas Halu Oleo saat ini. Pernah bertemu sekali dalam acara Aqiqah anak kakak pertama saya. Lebih dari itu, saya belum butuh bertemu dengan bapak Rektor ini.
Saya tau buku ini hanyalah pemberian untuk seorang teman. Tanpa berpikir dua kali karena Bapak tidak pernah membeli buku biografi atau kisah sukses seseorang dengan sengaja (kecuali buku Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad SAW - H.M.H Al-Hamid Al-Husaini yang selalu berada di atas meja kerjanya yang tebalnya ngga kalah dengan buku Harry Potter terbaru : D).
‘Diculik’lah buku itu ke kamar saya (bener! Saya belum membaca tulisan di cover belakangnya). Dari daftar isi saya sudah tau seperti apa rangkaian isi di dalam buku itu (saya membacanya sepintas saja tapi pasti). Cerita di mulai dengan kelahirannya, kehidupan semasa kecilnya, masa-masa sekolahnya di SMP hingga SMA, pengalaman organisasinya semasa kuliah, keputusannya memilih menjadi dosen (Bab 3 ini yang judulnya funky – Dosen sebagai pilihan sadar), visinya (yang dianggap visioner) sebagai pemimpin Unhalu, tentang pengabdiannya pada masyarakat, sampai langkah-langkahnya menginjak dunia politik (Basri Hasanuddin, Duta Besar RI di Teheran, menyebut ini sebagai gejala brain-drain, dimana beberapa profesor Perguruan Tinggi telah beralih profesi menjadi Politisi).
Begitulah. Seperti cerita biografi seseorang secara umum. Eksplisit dan selalu berusaha menggairahkan publik. Sampai ketika ada yang menjadi perhatian mata saya (lagi). Tulisan 3 baris di cover belakang.
Buku ini patut dibaca oleh generasi muda, kaum
profesional, akademisi, politisi dan siapapun
yang ingin sukses dalam berorganisasi dan berkarier
Tergolong yang manakah saya ? Apalah saya ini ? Hanya seorang feminis yang malas, lajang, masih tinggal dengan orang tua, ngga perlu pusing bayar listrik, belum perlu pusing mau makan apa hari ini (kadang-kadang juga self service). Hanya dua pekerjaan yang saya masih lakukan sendiri (mencuci dan menyetrika : D). Itupun tentu saja dengan masih menggunakan fasilitas di rumah orang tua. Selebihnya, panggil saja saya ‘Si Parasit Lajang’.
Buku itupun saya kembalikan ke kamar Bapak. Buku itu bukan untuk saya.

Huahahahaha

Huahahahaha...

Kemarin sore waktu pulang dari kantor, ada pemandangan 'lucu' di depan rumah saya. Ada umbul-umbulnya ! hihihi...ini rumahku atau kantor kelurahan nih. Lucu aja gitu, soalnya sepanjang jalan Bunga Kamboja cuman atu-atunya rumah yang pake umbul-umbul. Ntar dikirain semangat nasionalisme penghuni rumah ini tinggi banget niy : D.

Sempat berburuk sangka juga sama Bapak (hehe, sorry Dad). Nih pasti idenya Bapak niy hihihi : D. Ternyata waktu nanyain orang di rumah, pasang umbul-umbul tuh idenya mama...hehehe

Ah, ada-ada aja. Ga pa-pa, biar ajah : D

Dilema Ningsih

Namanya Ningsih. Umurnya 17 tahun. Asalnya dari desa Sabangka di Kabupaten Muna. Sudah 2 tahun belakangan ini dia tinggal bersama kami. Buat kami, Ningsih sudah jadi bagian dari keluarga. Kami tidak membedakan apapun dari dia. Dan rasanya semua yang pernah tinggal bersama kami pun begitu.

Sudah dua kali Ningsih pergi dengan alasan ingin pulang kampung dan mencoba peruntungan di kota Makassar. Tapi tetap saja kembali ke rumah kami. Kangen, katanya.

Minggu lalu saya dikejutkan dengan pernyataannya. “Saya sudah menikah”, kata Ningsih. Dengan tenang saja saya menanggapinya. Hanya naluri kamilah sesama wanita yang membuat dia mau menceritakan semuanya.

Adalah seorang pria berusia 25 tahun asal Flores yang menikahinya awal tahun ini (dia pun lupa tepatnya bulan berapa, saat dia mencoba survive di kota Makassar). Berceritalah dia dengan semua awal dan akhir pernikahannya. Dengan alasan perbedaan keyakinan, dia tidak ingin mengikuti keyakinan pria non muslim itu, berakhirlah pernikahannya yang hanya berusia 1 bulan. Tragis.

Ningsih hanyalah satu dari ningsih-ningsih lain yang ada di sekitar kita. Dia tidak pernah menginginkan untuk menjalani hidup seperti itu. Baiklah, kita anggap saja itu takdirnya.

Saya lalu memposisikan diri saya terhadap dia. Sekedar untuk melatih kepekaan saja. Ternyata tidak selamanya paradigma ‘Hidup adalah pilihan’ itu benar. Kalau saya adalah Ningsih, apakan saya bisa memilih menjadi Agnes Monica saja? Atau kalau saya adalah seorang pengemis, apakah saya bisa memilih untuk menjadi seorang konglomerat saja? Saya menyebutnya itu sebagai omong kosong yang rasional.

Marilah bermain logika matematis. Jika Ningsih berada di titik (0,0) dan Agnes Monica berada di titik (0,100), berapa waktu yang dibutuhkan Ningsih untuk mencapai titik (100,0) sehingga dia bisa tegak lurus dengan Agnes Monica? Probabilitas yang semu. Ningsih akan stagnan di titiknya.

Ada sesuatu yang selalu menjadi dominasi pemikian saya selama ini. Katakanlah lagi-lagi ini mengenai sebuah ‘takdir’. Kadang-kadang kita melakukan sesuatu yang hebat dengan kekuatan dan usaha yang maksimal, akan tetapi takdir tidak berpihak kepada kita. Di sisi lain, takdir lebih dulu mendatangi kita tanpa kita inginkan kehadirannya.

Ningsih mungkin tidak akan berpikir seperti saya. Yang berpikir mengapa dia ditakdirkan menjalani 1 bulan saja pernikahannya, atau berpikir mengapa jalan hidupnya harus seperti itu. Buat dia, hari-hari bersama seorang sopir mobil barang saat ini jauh lebih indah daripada memikirkan pilihan-pilihan hidup.

MeNyepi di Bali

Tidak salah saya memilih libur ke Bali 4 bulan yang lalu. Dan saya benar-benar menikmatinya. Saya memilih pergi pada saat itu cuma satu alasan, ada Hari Raya Nyepi. Saya mau merasakan seperti apa me’nyepi’ di Bali itu. Sedangkan jalan-jalan ke obyek wisata yang lain hanyalah bagian dari liburan itu saja. Dan saya tau nanti akan banyak seremonial keagamaan dan pertunjukan seni.
Dalam perjalanan dari Bandara ke hotel, sopir taksi sudah mulai cerita kalau Nyepi nanti ada pawai “Ogoh-ogoh”. Apa sih Ogoh-ogoh itu ? Ogoh-ogoh adalah patung besar sebagai simbol raksasa (bhutakala). Ogoh-ogoh dibuat menyerupai tokoh-tokoh dewa, pahlawan dan binatang dalam kepercayaan agama Hindu. Sebenarnya ogoh-ogoh bukan hal esensial dalam pelaksanaan prosesi Nyepi, ogoh-ogoh hanyalah sebuah tradisi baru. Pada malam pengerupukan (sehari sebelum Nyepi), biasanya ogoh-ogoh akan diarak sebagai tontonan. Konon ceritanya, ogoh-ogoh punya cerita unik dan agak horor. Cuma warga Renon yang tidak berani membuat ogoh-ogoh. Pada tahun 1988 di desa Renon, ogoh-ogoh yang baru menjadi trend di kalangan anak muda Bali pernah berubah wujud menjadi hidup dan berjalan sendiri. Akhirnya ogoh-ogoh itu pun dibakar. Sampai saat ini setiap kali setelah diarak, ogoh-ogoh harus dibakar untuk menolak makhlus halus yang ingin memanfaatkan wujud ogoh-ogoh sebagai wujud aslinya. Percaya ngga?
Saya memilih hotel di kawasan Kuta. Yah, cuma hotel murah untuk turis dadakan seperti saya. Tapi saya heran karena saya satu-satunya orang Indonesia yang menghuni di hotel itu. Tepatnya di jalan Poppies Lane II. Kemana-mana saya bisa pergi dengan berjalan kaki saja. Dekat dengan pantai Kuta, Kuta Square, McD, Circle K, dan jalan Legian. Dan saya ngga perlu khawatir karena disekitar hotel itu ada juga yang menjual makanan muslim.
Setelah menyimpan travelling bag, saya ngga mau melewatkan hari pertama saya. Berbekal sunblock SPF 50 karena cuaca yang panas dan sunglasses supaya mata ngga silau, saya sudah niat harus jalan siang itu. Sekalian cari makan siang. Setelah minta peta dari resepsionis hotel dan sedikit petunjuk jalan, saya nekat saja. Tidak mengapalah, masih wilayah Indonesia ini. Toh saya akan bertanya kalau saya nanti tersesat. Sebagai kota wisata seperti Jogja, orang-orangnya pasti lebih terbuka dan ramah menghadapi wisatawan.
Sepanjang jalan dari Poppies Lane ke Legian, saya merasa asing sendiri. Heh? Saya lagi di Bali atau di luar negeri? Sepanjang jalan saya banyak ditawari sesuatu. Apa karena tampang saya seperti philippines ? : D. Jadi ingat teman Jerman saya, Arved. Dia cerita tentang kunjungan pertamanya ke Bali. Sepanjang jalan Legian dia banyak ditawari drugs dan wanita. Mariyuana, Sir ?…Woman, Sir ? ….Seperti itulah.
Sehari sebelum hari Nyepi (malam pengerupukan), di perempatan jalan Legian - Seminyak ada pawai ogoh-ogoh. Pertunjukannya diadakan malam hari. Tapi sejak sore sudah banyak ogoh-ogoh di sepanjang jalan itu. Sebelum pertunjukannya, ogoh-ogoh sudah di perlihatkan untuk umum. Sekaligus jadi obyek foto para turis. Walaupun saya harus nonton berdesakan dengan banyak orang, tapi saya sangat menikmatinya. Sempat was-was juga sih, karena kawasan Seminyak pernah jadi target bom Bali.

Tibalah hari Nyepi. Resepsionis hotel sudah mewanti-wanti penghuni hotel tidak membuat keributan. Lampu di kamar hotel boleh dinyalakan, tapi tidak suara tape atau TV. Untuk hal yang satu ini, ternyata orang bule sangat toleransi. Semua memilih menghabiskan waktu di hotel saja. Ada yang menghabiskan waktu ngobrol di lobby, berenang, atau cuma tidur-tiduran di pinggir kolam renang. Saya tidur-tiduran saja di kamar.

Malam harinya adalah puncak hari Nyepi. Di lobby dan halaman hotel cuma diterangi dengan lilin-lilin, sedangkan lampu di kamar-kamar hotel boleh dinyalakan. Senyap. Saya cuma mendengar suara air dari kolam renang. Sesekali tawa canda bule-bule yang menghabiskan malam di kolam renang hotel. Untung saja malam sebelumnya saya sudah menyiapkan banyak makanan dan cemilan.

Resepsionis hotelnya berbagi cerita tentang keadaan di luar (di jalan dan di rumah-rumah) saat hari Nyepi. Jangan coba-coba keluar pada siang hari kalo ngga mau kena denda. Dendanya juga ngga main-main jumlahnya. Bisa sampai ratusan ribu. Bahkan pernah ada warga asing yang kena denda 5 juta rupiah karena bermotor di jalan saat hari Nyepi. Yang bertugas menjaga dan memberi denda disebut ‘pecalang’, yang terdiri dari orang-orang non hindu termasuk orang muslim. Betapa indahnya bertoleransi.

Esok harinya semua aktifitas kembali normal. Toko-toko dan hotel-hotel tidak tampak senyap lagi, dan turis-turis pun kembali melenggang di jalan. Saya pun bersiap-siap mengunjungi obyek-obyek wisatanya. Ah, akhirnya bisa juga saya melewati hari Nyepi di Bali ini. Terbayang saya akan kembali bersama sang suami, untuk me’nyepi’ dan berbulan madu…

KuldesaK (kulakukan karena terdesak)

tadi malam kepala saya kena kram otak
otak kecil seperti terkotak-kotak
otak besar seperti mau meledak
ternyata pikiran saya cuma lagi stuck

pergi ke kantor saya masih mengantuk
sementara yang lain sudah krasak-krusuk
dua orang pura-pura sibuk
oh, ada juga yang tidak masuk

pukul dua belas sudah waktu istirahat
inilah waktu tubuh harus berehat
lapar di perut sudah mendarat
banyak makan supaya tetap sehat

sore hari di kursi saya hampir jatuh terpelanting
ketika bersama teman-teman lagi chatting
pukul lima jarum jam sudah berdenting
sepertinya saya harus pulang sebelum terbanting

08.08.2007

laki-laki penghayal


Kemana akan kita habiskan waktu, Sayang ?


Bagaimana kalau kita habiskan waktu menunggu sunset di pantai Dreamland Uluwatu ?
Atau……
Bagaimana kalau kita habiskan waktu mendayung kayak di Danau Adirondack ?
Atau……
Bagaimana kalau kita habiskan waktu menyeruput pinacolada di pulau Oahu Hawaii ?
Atau……


Ah, sudah ! Kamu tidak punya cukup uang untuk itu
Bagaimana kalau kita habiskan saja waktu bersama di kamar ini
Ya, di kamar ini
Hanya saya dan kamu


07.08.2007

Perempuan Jaim


Suatu siang di rumah makan ‘N’, saya lagi nunggu pesanan makanan. Mie goreng jawa, yummmy…duh, lapar banget waktu itu. Saya memilih duduk paling depan, dekat dapur umum. Dapur umum karena orang bisa lewat lalu lalang di sampingnya. Kalo saya memilih tempat itu karena ingin melihat cara masaknya saja, sambil melihat ke jalan in case Josh Hartnett lewat dan mampir untuk mencium saya : D. Hehehe ngga apa-apa sedikit berfantasi sebelum makan : D.
Masih berfantasi dengan Josh Hartnett (hoeks…), datanglah 2 orang cewek. Not bad, manis-manis juga. Sepertinya seusia saya atau mungkin lebih muda (hiks…), memilih duduk di meja sebelah saya.
Sebenarnya saya ngga perduli dengan kedatangan mereka, toh saya ngga kenal juga. Tapi yang tiba-tiba menggugah perhatian adalah karena mereka men’jaim’kan diri. Hari gini?? Jaim??? Duh…, ngapain sih jaim…lha wong mo makan kok jaim ??? Ya Allah …tolong! (mpok Atiek mode on). Biasa aja napa…
Seperti inilah jaimnya cewek-cewek manis itu ; duduknya manis, bak ‘your highness’ Queen Elizabeth II, ngomongnya diatur (plus logat okotnya), senyuman di bibir ngga lebih dari 1 cm ke kiri dan 1 cm ke kanan. Model??? Hmm...ngga juga… secara body masih lebih bagus disini hehehe.
Ah whatever, siapapun kamu saya ngga perduli! Lha wong saya kesini mau makan kok. Dan saya juga ngga mau menambah dosa dengan menghujat orang : D. Cuma yang membuat saya berpikir adalah…Jaim ??? Hah! Itu bukan saya!
Buat saya, Jaim itu bisa mematikan kreatifitas. Saya jadi ingat teman cewek di kantor, kalo lagi jaim udah deh, weleh weleh…kalo diajak ngomong itu lho, ngga konsen dia! Ditanyain ini, jawabnya itu. Bikin sebel ah.
Disaat orang membutuhkan kenyamanan untuk melakukan aktifitas apapun, jaim tuh ngga ada gunanya. Bahkan untuk acara formal pun orang tuh seharusnya ngga perlu jaim. Bersikap yang wajar. Cuma itu aja kok.
Manusia memang ngga ada yang sempurna. Tapi bukan berarti kita harus jaim untuk menjadikan diri seakan-akan ‘sempurna’. Benar saja apa yang saya pikirkan waktu itu, tidak ada hal yang paling membahagiakan di dunia ini selain bisa menjadi diri sendiri.