MeNyepi di Bali

Tidak salah saya memilih libur ke Bali 4 bulan yang lalu. Dan saya benar-benar menikmatinya. Saya memilih pergi pada saat itu cuma satu alasan, ada Hari Raya Nyepi. Saya mau merasakan seperti apa me’nyepi’ di Bali itu. Sedangkan jalan-jalan ke obyek wisata yang lain hanyalah bagian dari liburan itu saja. Dan saya tau nanti akan banyak seremonial keagamaan dan pertunjukan seni.
Dalam perjalanan dari Bandara ke hotel, sopir taksi sudah mulai cerita kalau Nyepi nanti ada pawai “Ogoh-ogoh”. Apa sih Ogoh-ogoh itu ? Ogoh-ogoh adalah patung besar sebagai simbol raksasa (bhutakala). Ogoh-ogoh dibuat menyerupai tokoh-tokoh dewa, pahlawan dan binatang dalam kepercayaan agama Hindu. Sebenarnya ogoh-ogoh bukan hal esensial dalam pelaksanaan prosesi Nyepi, ogoh-ogoh hanyalah sebuah tradisi baru. Pada malam pengerupukan (sehari sebelum Nyepi), biasanya ogoh-ogoh akan diarak sebagai tontonan. Konon ceritanya, ogoh-ogoh punya cerita unik dan agak horor. Cuma warga Renon yang tidak berani membuat ogoh-ogoh. Pada tahun 1988 di desa Renon, ogoh-ogoh yang baru menjadi trend di kalangan anak muda Bali pernah berubah wujud menjadi hidup dan berjalan sendiri. Akhirnya ogoh-ogoh itu pun dibakar. Sampai saat ini setiap kali setelah diarak, ogoh-ogoh harus dibakar untuk menolak makhlus halus yang ingin memanfaatkan wujud ogoh-ogoh sebagai wujud aslinya. Percaya ngga?
Saya memilih hotel di kawasan Kuta. Yah, cuma hotel murah untuk turis dadakan seperti saya. Tapi saya heran karena saya satu-satunya orang Indonesia yang menghuni di hotel itu. Tepatnya di jalan Poppies Lane II. Kemana-mana saya bisa pergi dengan berjalan kaki saja. Dekat dengan pantai Kuta, Kuta Square, McD, Circle K, dan jalan Legian. Dan saya ngga perlu khawatir karena disekitar hotel itu ada juga yang menjual makanan muslim.
Setelah menyimpan travelling bag, saya ngga mau melewatkan hari pertama saya. Berbekal sunblock SPF 50 karena cuaca yang panas dan sunglasses supaya mata ngga silau, saya sudah niat harus jalan siang itu. Sekalian cari makan siang. Setelah minta peta dari resepsionis hotel dan sedikit petunjuk jalan, saya nekat saja. Tidak mengapalah, masih wilayah Indonesia ini. Toh saya akan bertanya kalau saya nanti tersesat. Sebagai kota wisata seperti Jogja, orang-orangnya pasti lebih terbuka dan ramah menghadapi wisatawan.
Sepanjang jalan dari Poppies Lane ke Legian, saya merasa asing sendiri. Heh? Saya lagi di Bali atau di luar negeri? Sepanjang jalan saya banyak ditawari sesuatu. Apa karena tampang saya seperti philippines ? : D. Jadi ingat teman Jerman saya, Arved. Dia cerita tentang kunjungan pertamanya ke Bali. Sepanjang jalan Legian dia banyak ditawari drugs dan wanita. Mariyuana, Sir ?…Woman, Sir ? ….Seperti itulah.
Sehari sebelum hari Nyepi (malam pengerupukan), di perempatan jalan Legian - Seminyak ada pawai ogoh-ogoh. Pertunjukannya diadakan malam hari. Tapi sejak sore sudah banyak ogoh-ogoh di sepanjang jalan itu. Sebelum pertunjukannya, ogoh-ogoh sudah di perlihatkan untuk umum. Sekaligus jadi obyek foto para turis. Walaupun saya harus nonton berdesakan dengan banyak orang, tapi saya sangat menikmatinya. Sempat was-was juga sih, karena kawasan Seminyak pernah jadi target bom Bali.

Tibalah hari Nyepi. Resepsionis hotel sudah mewanti-wanti penghuni hotel tidak membuat keributan. Lampu di kamar hotel boleh dinyalakan, tapi tidak suara tape atau TV. Untuk hal yang satu ini, ternyata orang bule sangat toleransi. Semua memilih menghabiskan waktu di hotel saja. Ada yang menghabiskan waktu ngobrol di lobby, berenang, atau cuma tidur-tiduran di pinggir kolam renang. Saya tidur-tiduran saja di kamar.

Malam harinya adalah puncak hari Nyepi. Di lobby dan halaman hotel cuma diterangi dengan lilin-lilin, sedangkan lampu di kamar-kamar hotel boleh dinyalakan. Senyap. Saya cuma mendengar suara air dari kolam renang. Sesekali tawa canda bule-bule yang menghabiskan malam di kolam renang hotel. Untung saja malam sebelumnya saya sudah menyiapkan banyak makanan dan cemilan.

Resepsionis hotelnya berbagi cerita tentang keadaan di luar (di jalan dan di rumah-rumah) saat hari Nyepi. Jangan coba-coba keluar pada siang hari kalo ngga mau kena denda. Dendanya juga ngga main-main jumlahnya. Bisa sampai ratusan ribu. Bahkan pernah ada warga asing yang kena denda 5 juta rupiah karena bermotor di jalan saat hari Nyepi. Yang bertugas menjaga dan memberi denda disebut ‘pecalang’, yang terdiri dari orang-orang non hindu termasuk orang muslim. Betapa indahnya bertoleransi.

Esok harinya semua aktifitas kembali normal. Toko-toko dan hotel-hotel tidak tampak senyap lagi, dan turis-turis pun kembali melenggang di jalan. Saya pun bersiap-siap mengunjungi obyek-obyek wisatanya. Ah, akhirnya bisa juga saya melewati hari Nyepi di Bali ini. Terbayang saya akan kembali bersama sang suami, untuk me’nyepi’ dan berbulan madu…

5 comments:

Tari Mokui said...

Nyepi 2k6 aku masih di Denpasar, karena tinggalnya di tengah umat Hindu, benar2 kerasa gelap+sepi+senyap...alhasil sepanjang malam nonton film dalam gelap...
kalo kedapatan kadang2 selain bayar denda kudu bersihin pura juga..
oh iya, kalo ke bali kudu urus2 KIPEM juga ..kalo ga bayar denda bisa2 diciduk ma pecalangnya...
anyway, i have such a great time in DPS...

try said...

Yup, emang asyik banget yah, ngerasain Nyepi di tempat 'asalnya' : D

Diah Alsa said...

waahhh asyiknya mi, kk.. lain kali qta ajak pi jg saya klo mw jalan2.. hehehh

btw cuit22.. kapan pi itu qta me'nyepi' skalian bulan madu ma suami??? xiixixi *kabuurrrrr*

Anak Agung Ngurah Gde Sapteka said...

Nice blog. See more about pecalang at http://www.sapteka.net/pecalang.htm

Ayumi Galuh said...

Bali emang cocok dijadikan tempat liburan favorit.

Visit: http://www.tanahlot.net