Dilema Ningsih

Namanya Ningsih. Umurnya 17 tahun. Asalnya dari desa Sabangka di Kabupaten Muna. Sudah 2 tahun belakangan ini dia tinggal bersama kami. Buat kami, Ningsih sudah jadi bagian dari keluarga. Kami tidak membedakan apapun dari dia. Dan rasanya semua yang pernah tinggal bersama kami pun begitu.

Sudah dua kali Ningsih pergi dengan alasan ingin pulang kampung dan mencoba peruntungan di kota Makassar. Tapi tetap saja kembali ke rumah kami. Kangen, katanya.

Minggu lalu saya dikejutkan dengan pernyataannya. “Saya sudah menikah”, kata Ningsih. Dengan tenang saja saya menanggapinya. Hanya naluri kamilah sesama wanita yang membuat dia mau menceritakan semuanya.

Adalah seorang pria berusia 25 tahun asal Flores yang menikahinya awal tahun ini (dia pun lupa tepatnya bulan berapa, saat dia mencoba survive di kota Makassar). Berceritalah dia dengan semua awal dan akhir pernikahannya. Dengan alasan perbedaan keyakinan, dia tidak ingin mengikuti keyakinan pria non muslim itu, berakhirlah pernikahannya yang hanya berusia 1 bulan. Tragis.

Ningsih hanyalah satu dari ningsih-ningsih lain yang ada di sekitar kita. Dia tidak pernah menginginkan untuk menjalani hidup seperti itu. Baiklah, kita anggap saja itu takdirnya.

Saya lalu memposisikan diri saya terhadap dia. Sekedar untuk melatih kepekaan saja. Ternyata tidak selamanya paradigma ‘Hidup adalah pilihan’ itu benar. Kalau saya adalah Ningsih, apakan saya bisa memilih menjadi Agnes Monica saja? Atau kalau saya adalah seorang pengemis, apakah saya bisa memilih untuk menjadi seorang konglomerat saja? Saya menyebutnya itu sebagai omong kosong yang rasional.

Marilah bermain logika matematis. Jika Ningsih berada di titik (0,0) dan Agnes Monica berada di titik (0,100), berapa waktu yang dibutuhkan Ningsih untuk mencapai titik (100,0) sehingga dia bisa tegak lurus dengan Agnes Monica? Probabilitas yang semu. Ningsih akan stagnan di titiknya.

Ada sesuatu yang selalu menjadi dominasi pemikian saya selama ini. Katakanlah lagi-lagi ini mengenai sebuah ‘takdir’. Kadang-kadang kita melakukan sesuatu yang hebat dengan kekuatan dan usaha yang maksimal, akan tetapi takdir tidak berpihak kepada kita. Di sisi lain, takdir lebih dulu mendatangi kita tanpa kita inginkan kehadirannya.

Ningsih mungkin tidak akan berpikir seperti saya. Yang berpikir mengapa dia ditakdirkan menjalani 1 bulan saja pernikahannya, atau berpikir mengapa jalan hidupnya harus seperti itu. Buat dia, hari-hari bersama seorang sopir mobil barang saat ini jauh lebih indah daripada memikirkan pilihan-pilihan hidup.

5 comments:

Tari Mokui said...

menurutku memilih adalah satu hal yang bisa dilakukan manusia.. Kalo sblm nikah ningsih ga tau kalo pria itu beda agama (mis. dibohongi pria itu)dan dia juga ga tau kalo menikah dengan pria yang beda agama sama dengan zina, itu bisa dikategorikan takdir...
tapi kalo dia tau semua itu, berarti dia memilih take a risk dengan menafikan perintah Allah

aku pernah baca di salah satu buku: Hanya Doa yang bisa merubah Takdir...Karena pada dasarnya kita tdk pernah tau seperti apa akhir kita... jadi berdoa dan berusahalah memilih yang terbaik ...
Wallahu A'lam..

Selalu ada hikmah dibalik peristiwa...Semoga Ningsih dapat suami yang jauh lebih baik lagi...

keep writing try...^_^

Anonymous said...

To surrender to fate or not, are still an option to choose. What we are now is just a compilation of options that we have choosen so far. Everyone is different, coz no body will choose the same exact series of options, even if they are faced with the very same circumstances.

halah...

mokokoro said...

setelah membaca tulisan ini...saya akhirnya jadi sedikit menyesali takdir saya "terlahir tampan dan mempesona".

Seorang kawan pernah melepas omongan soal takdir. Menurutnya Tuhan itu kelewatan banget mempermainkan kita dengan takdir-Nya. Mbok ya kalo Tuhan itu Maha Adil...mustinya Abu Jahal ditakdirkan jadi orang baik-baik aja apa susahnya. Ato Max ditakdirkan pandai ngaji dan ga neko-neko, kerjanya menggembala domba dan ga usah meracuni pikiran orang-orang awam.

Tapi whateverlah...ini tulisan kamu yg Te O Pe Be Ge Te.

try said...

> Tari : thank's commentnya. Alhamdulillah saat ini Ningsih lalu berbahagia dengan 'takdir' barunya ; )
> Ali : great. Mohon ditranslate hehehe (kidding : p)
> Fajar : yah, begitulah : D

Diah Alsa said...

bukankah hidup adalah pilihan??
dan ktika qta memilih pilihan itu, qta tlah tau smuanya.., *halaahhh sa ngaur lagi

tapi, buat Ningsih: smoga dy menjalani hidupnya dengan lebih baik lagi :)