TEGANGAN ANTARA BENTUK DAN ISI - Telaah Karya Sastra


Apa yang membuat sebuah tulisan berkarakter dan berbobot sastrawi, telah menjadi bahan perdebatan yang tak habis-habisnya. Karakter sastrawi itu konon terletak pada kedalaman emosi dan keunikan gagasan ungkapan pribadi (kaum ekspresionis), atau konon juga pada totalitas efek kesan yang ditampilkannya (kaum impresionis), atau pada apa yang di’representasi’kannya, misalnya, kelas sosial tertentu, kepentingan politik, kecenderungan kultural, dan sebagainya.
Kaum formalis Rusia lain lagi. Mereka melihat bobot sastrawi sebuah karya terutama pada kemampuan karya itu memperbaharui persepsi kita. Kemampuan itu terutama terletak pada ketidaklaziman atau siasat ‘defamiliarisasi’ yang dimainkan si penulis (Victor Shklozsky).
Keunikan perpaduan antar berbagai komponen dalam teks beserta permainan imaji yang tidak biasa, memungkinkan kita melihat realitas secara baru, memberikan sensasi dan visi baru (realitas biasanya kita persepsikan dengan pola rutin hingga kita kehilangan rasa dan makna tentangnya). Dalam kerangka itu segala unsur terkandung dalam ‘bentuk’ (form) sangatlah menentukan ‘isi’ maknawinya (content).
Keunikan isi sebuah karya sastra dibangun oleh komponen dan struktur intern ‘bentuk’nya (Roman Jakobson, Mukarovsky). Sayangnya, pendekatan kaum formalis macam ini kerap mudah terjebak dalam kegemaran memindai struktur dan pola-pola formal secara berlebihan dan kaku, hingga terasa mencari-cari dan memaksa.
Dalam sastra, kata-kata tidak berperan sebagai pembentuk pernyataan logis-kognitif, melainkan sebagai kuas untuk melukis, citra untuk merangsang imajinasi atau sensasi, permainan simbol yang menyeret kita masuk dan merasakan kompleksitas pengalaman. Itu pendapat kelompok New Criticism Amerika, yang saya kira penting. Dan ini agak paralel dengan arah kaum Post-strukturalis yang melihat kekuatan karya sastra dalam subversi logikanya, dalam percampuran kode semiotisnya yang tak terduga, dalam pergeseran-pergeseran makna yang dimainkannya lewat dialog, monolog atau narasi.
Dalam kerangka teoritis di atas masih bisa diperpanjang. Dan tentu ada seribu tujuh cara untuk membaca sebuah teks sastra. Masalahnya, kendati segala teori itu sangatlah membantu dalam memperlihatkan berbagai kemungkinan, aspek dan kekuatan sebuah teks, toh setiap karya sastra umumnya tampil dengan keunikan dan integritas sendiri. Sedemikian hingga setiap berhadapan dengan karya baru, selalu saja kita bagai berhadapan dengan sosok yang sama sekali asing, yang tak mudah dipahami lewat segala kategorisasi yang telah kita miliki.
Seperti dalam dunia seni umumnya, dalam dunia sastra pun semakin berbobot suatu karya biasanya justru semakin asing, semakin misterius dan tak terduga. Dan lantas cara paling realistis akhirnya adalah langsung saja menggauli karya itu tanpa banyak pretensi, dan lewat pembacaan kita, karya itu sedikit demi sedikit membukakan dirinya sendiri, menunjukan sendiri dimana kekuatan yang dimilikinya dan bagaimana sebaiknya ia dibaca.
Apa boleh buat, salah satu kekuatan utama karya seni memang adalah kebaruan, keunikan cara pengungkapan. Sedangkan isi substansi dunia manusia dari dulu hingga kini pada tingkat terdalam boleh jadi sebenarnya sama saja (itu sebabnya filsafat Yunani, atau inspirasi agama-agama besar dari ribuan tahun silam pun hingga kini tetap relevan, tak pernah kadaluwarsa).
Pemikiran dan inspirasi baru muncul kembali setiap kali hanya karena cara memperkatakannya yang berbeda, karena sudut pandang yang digunakan, karena imaji-imaji tak lazim yang dimainkannya. Imajinasi manusia yang teramat kaya setiap kali menemukan cara uniknya sendiri yang berbeda untuk mengungkapkan kebenaran terdalam yang sama, kebenaran yang mungkin abadi, kendati juga selalu tersembunyi.
Banyak cerpen yang keasyikan terhanyut dalam pergumulan konseptual sehingga pengemasan dalam bahasa dan pengorganisasian komponen-komponennya tak cukup tergarap. Akibatnya, cerpen-cerpen itu, kendati secara intelektual tampak cerdas dan sesekali mengejutkan, toh tidak sungguh menyengat perasaan, tidak menggelembungkan imajinasi ataupun menggedor kesadaran.
Kekuatan cerpen bisa diletakkan pada daya puitiknya. Puitik dalam artian : hemat, tepat dan dasyat. Artinya, kemampuan melahirkan sugesti dasyat lewat konstruksi linguistik singkat ; menimbulkan efek maksimal dengan upaya minimal. ‘Puitik’ bisa berarti pula melukiskan tanpa menjelaskan, atau juga cerdik membetot suatu fenomen ke ruang dalamnya yang paling pelik, dan sebaliknya, ke ruang luarnya yang paling kosmik, hanya dengan menggenjot efisiensi dan kekuatan kata. Cerpen bukanlah novel. Sifatnya yang pendek justru memaksa penulis untuk menimbulkan efek maksimal dengan cara minimal.
Puitik bersandar pada kecerdikan mengambil sudut pandang, menata alur, dan melukiskan interioritas dan suasana secara dasyat lewat bahasa sederhana, tanpa frasa keriting yang pelik, tanpa pelintiran kata yang mengada-ada. Puitik lantas adalah soal kecerdasan penggunaan tanpa batas sistem linguistik yang serba terbatas. Puitisasi bisa juga dilakukan dengan siasat surealis, yaitu meletakkan semua komponen pada latar situasi yang tak masuk akal, serupa alam impian. Keuntungan strategis macam ini adalah bahwa penulis mempunyai peluang lebih bebas untuk menciptakan suasana, alur, maupun karakter semaunya, tanpa terlampau terikat hukum logika.
Surealisme, seringkali berhadapan dengan resiko lazim. Penggunaan idiom-idiom yang agak kabur, dan gagasan yang sering samar terselimuti kalimat-kalimat liris indah yang kadang tak tentu arah. Surealisme baru bernilai manakala situasi bawah sadar maupun imajinasi memang dibebaskan sampai menemukan titik-titik artikulasi paling signifikan. Tetapi, kebebasan itu membawa resiko ketidakjelasan isi maupun bentuk formal. Memang dilematis.
Cerpen bisa pula memberi tekanan pada suasana yang bersifat impresionis : kelebatan-kelebatan kesan yang melayang, tetapi meninggalkan jejak-jejak misteri yang menawan dan mendalam.
Menulis cerpen tampaknya memang bisa lebih berat daripada menulis novel, sekurang-kurangnya dalam hal menyiasati berbagai komponen (alur, karakter, konflik, suspens, gagasan dan sebagainya) menjadi bentukan yang ringkas, padat, tepat dan berefek dasyat.

2 comments:

y@t said...

hhhmmm...
...
....
beraaaatthhh =>ga ngerti :(

try said...

hhhmmm...beratkah? berapa kg? : D